Selasa, 18 September 2012

DASAR KESEHATAN LINGKUNGAN

A. Konsep dan Batasan Kesehatan Lingkungan
1. Pengertian kesehatan
a) Menurut WHO
“Keadaan yg meliputi kesehatan fisik, mental, dan sosial yg tidak hanya berarti suatu keadaan yg bebas dari penyakit dan kecacatan.”
b) Menurut UU No 23 / 1992 ttg kesehatan
“Keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.”
2. Pengertian lingkungan
Menurut Encyclopaedia of science & technology (1960)
“ Sejumlah kondisi di luar dan mempengaruhi kehidupan dan perkembangan organisme.”
Menurut Encyclopaedia Americana (1974)
“ Pengaruh yang ada di atas/sekeliling organisme.”
Menurut A.L. Slamet Riyadi (1976)
“ Tempat pemukiman dengan segala sesuatunya dimana organismenya hidup beserta segala keadaan dan kondisi yang secara langsung maupun tidak dpt diduga ikut mempengaruhi tingkat kehidupan maupun kesehatan dari organisme itu.”
3. Pengertian kesehatan lingkungan
Menurut HAKLI (Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia)
“ Suatu kondisi lingkungan yang mampu menopang keseimbangan ekologi yang dinamis antara manusia dan lingkungannya untuk mendukung tercapainya kualitas hidup manusia yang sehat dan bahagia.”
Menurut WHO (World Health Organization)
“Suatu keseimbangan ekologi yang harus ada antara manusia dan lingkungan agar dapat menjamin keadaan sehat dari manusia.”
Menurut kalimat yang merupakan gabungan (sintesa dari Azrul Azwar, Slamet Riyadi, WHO dan Sumengen)
“ Upaya perlindungan, pengelolaan, dan modifikasi lingkungan yang diarahkan menuju keseimbangan ekologi pd tingkat kesejahteraan manusia yang semakin meningkat.”
B. Ruang lingkup kesehatan lingkungan
Menurut WHO ada 17 ruang lingkup kesehatan lingkungan :
1) Penyediaan Air Minum
2) Pengelolaan air Buangan dan pengendalian pencemaran
3) Pembuangan Sampah Padat
4) Pengendalian Vektor
5) Pencegahan/pengendalian pencemaran tanah oleh ekskreta manusia
6) Higiene makanan, termasuk higiene susu
7) Pengendalian pencemaran udara
8) Pengendalian radiasi
9) Kesehatan kerja
10) Pengendalian kebisingan
11) Perumahan dan pemukiman
12) Aspek kesling dan transportasi udara
13) Perencanaan daerah dan perkotaan
14) Pencegahan kecelakaan
15) Rekreasi umum dan pariwisata
16) Tindakan-tindakan sanitasi yang berhubungan dengan keadaan epidemi/wabah, bencana alam dan perpindahan penduduk.
17) Tindakan pencegahan yang diperlukan untuk menjamin lingkungan.
Menurut Pasal 22 ayat (3) UU No 23 tahun 1992 ruang lingkup kesling ada 8 :
1) Penyehatan Air dan Udara
2) Pengamanan Limbah padat/sampah
3) Pengamanan Limbah cair
4) Pengamanan limbah gas
5) Pengamanan radiasi
6) Pengamanan kebisingan
7) Pengamanan vektor penyakit
8) Penyehatan dan pengamanan lainnya : Misal Pasca bencana.
C. Sasaran kesehatan lingkungan (Pasal 22 ayat (2) UU 23/1992
1) Tempat umum : hotel, terminal, pasar, pertokoan, dan usaha-usaha yang sejenis
2) Lingkungan pemukiman : rumah tinggal, asrama/yang sejenis
3) Lingkungan kerja : perkantoran, kawasan industri/yang sejenis.
4) Angkutan umum : kendaraan darat, laut dan udara yang digunakan untuk umum.
5) Lingkungan lainnya : misalnya yang bersifat khusus seperti lingkungan yang berada dlm keadaan darurat, bencana perpindahan penduduk secara besar2an, reaktor/tempat yang bersifat khusus.
D. Sejarah perkembangan kesehatan lingkungan
1) Sebelum Orba
· Th 1882 : UU ttg hygiene dlm Bahasa Belanda.
· Th 1924 Atas Prakarsa Rochefeller foundation didirikan Rival Hygiene Work di Banyuwangi dan Kebumen.
· Th 1956 : Integrasi usaha pengobatan dan usaha kesehatan lingkungan di Bekasi hingga didirikan Bekasi Training Centre
· Prof. Muchtar mempelopori tindakan kesehatan lingkungan di Pasar Minggu.
· Th 1959 : Dicanangkan program pemberantasan Malaria sebagai program kesehatan lingkungan di tanah air (12 Nopember = Hari Kesehatan Nasional)
2) Setelah Orba
· Th 1968 : Program kesehatan lingkungan masuk dalam upaya pelayanan Puskesmas
· Th 1974 : Inpres Samijaga (Sarana Air Minum dan Jamban Keluarga)
· Adanya Program Perumnas, Proyek Husni Thamrin, Kampanye Keselamatan dan kesehatan kerja, dll.
E. Konsep hubungan interaksi antara Host – Agent Environmental
1. Tiga komponen/faktor yang berperan dalam menimbulkan penyakit Model Ecology (JHON GORDON).
· Agent (Agen/penyebab) : adalah penyebab penyakit pada manusia
· Host (tuan Rumah/Induk semang/penjamu/pejamu) adalah manusia yang ditumpangi penyakit.
· Lingkungan/environmental : Segala sesuatu yang berada di luar kehidupan organisme Cth : Lingkungan Fisik, Kimia, Biologi.
Interaksi antara agent, host dan lingkungan serta model ekologinya adalah sebagai berikut :
Antara agent Host dan lingkungan dalam keadaan seimbang sehingga tidak terjadi penyakit. Gambar sebagai berikut :


Pejamu Agent
Lingkungan
Peningkatan kemampuan agent untuk menginfeksi manusia serta mengakibatkan penyakit pada manusia. Gambar sebagai berikut :


Pejamu
Agent
Lingkungan
Perubahan lingkungan menyebabkan meningkatnya perkembangan agent. Gambar sebagai berikut :
Pejamu
Agent
Lingkungan
2. Karakteristik 3 komponen/ faktor yang berperan dalam menimbulkan penyakit
1) Karakteristik Lingkungan
· Fisik : Air, Udara, Tanah, Iklim, Geografis, Perumahan, Pangan, Panas, radiasi.
· Sosial : Status sosial, agama, adat istiadat, organisasi sosial politik, dll.
· Biologis : Mikroorganisme, serangga, binatang, tumbuh-tumbuhan.
2) Karakteristik Agent/penyebab penyakit
Agent penyakit dapat berupa agent hidup atau agent tidak hidup. Agent penyakit dapat dikualifikasikan menjadi 5 kelompok, yaitu :
a. Agent biologis
Beberapa penyakit beserta penyebab spesifiknya
Jenis agent
Spesies agent
Nama penyakit
Metazoa
Ascaris lumbricoides
Ascariasis
Protozoa
Plasmodium vivax
Malaria Quartana
Fungi
Candida albicans
Candidiasis
Bakteri
Salmonella typhi
Typhus abdominalis
Rickettsia
Rickettsia tsutsugamushi
Scrub typhus
Virus
Virus influenza
Influenza
b. Agent nutrien : protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral, dan air.
c. Agent fisik : suhu, kelembaban, kebisingan, radiasi, tekanan, panas.
d. Agent chemis/kimia : eksogen contoh ; alergen,gas, debu,
endogen contoh ; metabolit, hormon.
e. Agent mekanis : gesekan, pukulan, tumbukan, yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan.
3) Karakteristik Host/pejamu
Faktor manusia sangat kompleks dalam proses terjadinya penyakit dan tergantung dari karakteristik yang dimiliki oleh masing – masing individu, yakni :
a. Umur : penyakit arterosklerosis pada usia lanjut, penyakit kanker pada usia pertengahan
b. Seks : resiko kehamilan pada wanita, kanker prostat pada laki-laki
c. Ras : sickle cell anemia pada ras negro
d. Genetik : buta warna, hemofilia, diabetes, thalassemia
e. Pekerjaan : asbestosis, bysinosis.
f. Nutrisi : gizi kurang menyebabkan TBC, obesitas, diabetes
g. Status kekebalan : kekebalan terhadap penyakit virus yang tahan lama dan seumur hidup.
h. Adat istiadat : kebiasaan makan ikan mentah menyebabkan cacing hati.
i. Gaya hidup : merokok, minum alkohol
j. Psikis : stress menyebabkan hypertensi, ulkus peptikum, insomnia.
F. Masalah-masalah Kesehatan Lingkungan di Indonesia
1. Air Bersih
Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak. Air minum adalah air yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum.
Syarat-syarat Kualitas Air Bersih diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Syarat Fisik : Tidak berbau, tidak berasa, dan tidak berwarna
b. Syarat Kimia : Kadar Besi : maksimum yang diperbolehkan 0,3 mg/l, Kesadahan (maks 500 mg/l)
c. Syarat Mikrobiologis : Koliform tinja/total koliform (maks 0 per 100 ml air)
2. Pembuangan Kotoran/Tinja
Metode pembuangan tinja yang baik yaitu dengan jamban dengan syarat sebagai berikut :
a. Tanah permukaan tidak boleh terjadi kontaminasi
b. Tidak boleh terjadi kontaminasi pada air tanah yang mungkin memasuki mata air atau sumur
c. Tidak boleh terkontaminasi air permukaan
d. Tinja tidak boleh terjangkau oleh lalat dan hewan lain
e. Tidak boleh terjadi penanganan tinja segar ; atau, bila memang benar-benar diperlukan, harus dibatasi seminimal mungkin.
f. Jamban harus babas dari bau atau kondisi yang tidak sedap dipandang.
g. Metode pembuatan dan pengoperasian harus sederhana dan tidak mahal.
3. Kesehatan Pemukiman
Secara umum rumah dapat dikatakan sehat apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Memenuhi kebutuhan fisiologis, yaitu : pencahayaan, penghawaan dan ruang gerak yang cukup, terhindar dari kebisingan yang mengganggu.
b. Memenuhi kebutuhan psikologis, yaitu : privacy yang cukup, komunikasi yang sehat antar anggota keluarga dan penghuni rumah
c. Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antarpenghuni rumah dengan penyediaan air bersih, pengelolaan tinja dan limbah rumah tangga, bebas vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, cukup sinar matahari pagi, terlindungnya makanan dan minuman dari pencemaran, disamping pencahayaan dan penghawaan yang cukup.
d. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang timbul karena keadaan luar maupun dalam rumah antara lain persyaratan garis sempadan jalan, konstruksi yang tidak mudah roboh, tidak mudah terbakar, dan tidak cenderung membuat penghuninya jatuh tergelincir.
4. Pembuangan Sampah
Teknik pengelolaan sampah yang baik harus memperhatikan faktor-faktor/unsur :
a. Penimbulan sampah. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi sampah adalah jumlah penduduk dan kepadatanya, tingkat aktivitas, pola kehidupan/tk sosial ekonomi, letak geografis, iklim, musim, dan kemajuan teknologi.
b. Penyimpanan sampah.
c. Pengumpulan, pengolahan dan pemanfaatan kembali.
d. Pengangkutan
e. Pembuangan
Dengan mengetahui unsur-unsur pengelolaan sampah, kita dapat mengetahui hubungan dan urgensinya masing-masing unsur tersebut agar kita dapat memecahkan masalah-masalah ini secara efisien.
5. Serangga dan Binatang Pengganggu
Serangga sebagai reservoir (habitat dan suvival) bibit penyakit yang kemudian disebut sebagai vektor misalnya : pinjal tikus untuk penyakit pes/sampar, Nyamuk Anopheles sp untuk penyakit Malaria, Nyamuk Aedes sp untuk Demam Berdarah Dengue (DBD), Nyamuk Culex sp untuk Penyakit Kaki Gajah/Filariasis. Penanggulangan/pencegahan dari penyakit tersebut diantaranya dengan merancang rumah/tempat pengelolaan makanan dengan rat proff (rapat tikus), Kelambu yang dicelupkan dengan pestisida untuk mencegah gigitan Nyamuk Anopheles sp, Gerakan 3 M (menguras mengubur dan menutup) tempat penampungan air untuk mencegah penyakit DBD, Penggunaan kasa pada lubang angin di rumah atau dengan pestisida untuk mencegah penyakit kaki gajah dan usaha-usaha sanitasi.
Binatang pengganggu yang dapat menularkan penyakit misalnya anjing dapat menularkan penyakit rabies/anjing gila. Kecoa dan lalat dapat menjadi perantara perpindahan bibit penyakit ke makanan sehingga menimbulakan diare. Tikus dapat menyebabkan Leptospirosis dari kencing yang dikeluarkannya yang telah terinfeksi bakteri penyebab.
6. Makanan dan Minuman
Sasaran higene sanitasi makanan dan minuman adalah restoran, rumah makan, jasa boga dan makanan jajanan (diolah oleh pengrajin makanan di tempat penjualan dan atau disajikan sebagai makanan siap santap untuk dijual bagi umum selain yang disajikan jasa boga, rumah makan/restoran, dan hotel).
Persyaratan hygiene sanitasi makanan dan minuman tempat pengelolaan makanan meliputi :
a. Persyaratan lokasi dan bangunan;
b. Persyaratan fasilitas sanitasi;
c. Persyaratan dapur, ruang makan dan gudang makanan;
d. Persyaratan bahan makanan dan makanan jadi;
e. Persyaratan pengolahan makanan;
f. Persyaratan penyimpanan bahan makanan dan makanan jadi;
g. Persyaratan peralatan yang digunakan.
7. Pencemaran Lingkungan
Pencemaran lingkungan diantaranya pencemaran air, pencemaran tanah, pencemaran udara. Pencemaran udara dapat dibagi lagi menjadi indoor air pollution dan out door air pollution. Indoor air pollution merupakan problem perumahan/pemukiman serta gedung umum, bis kereta api, dll. Masalah ini lebih berpotensi menjadi masalah kesehatan yang sesungguhnya, mengingat manusia cenderung berada di dalam ruangan ketimbang berada di jalanan. Diduga akibat pembakaran kayu bakar, bahan bakar rumah tangga lainnya merupakan salah satu faktor resiko timbulnya infeksi saluran pernafasan bagi anak balita. Mengenai masalah out door pollution atau pencemaran udara di luar rumah, berbagai analisis data menunjukkan bahwa ada kecenderungan peningkatan. Beberapa penelitian menunjukkan adanya perbedaan resiko dampak pencemaran pada beberapa kelompok resiko tinggi penduduk kota dibanding pedesaan. Besar resiko relatif tersebut adalah 12,5 kali lebih besar. Keadaan ini, bagi jenis pencemar yang akumulatif, tentu akan lebih buruk di masa mendatang. Pembakaran hutan untuk dibuat lahan pertanian atau sekedar diambil kayunya ternyata membawa dampak serius, misalnya infeksi saluran pernafasan akut, iritasi pada mata, terganggunya jadual penerbangan, terganggunya ekologi hutan.
G. Penyebab masalah kesehatan lingkungan di Indonesia
1. Pertambahan dan kepadatan penduduk.
2. Keanekaragaman sosial budaya dan adat istiadat dari sebagian besar penduduk.
3. Belum memadainya pelaksanaan fungsi manajemen.
H. Hubungan dan pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan masyarakat di perkotaan dan pemukiman
Contoh hubungan dan pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan masyarakat di perkotaan dan pemukiman diantaranya sebagai berikut :
1. Urbanisasi >>>kepadatan kota >>> keterbatasan lahan >>>daerah slum/kumuh>>>sanitasi kesehatan lingkungan buruk
2. Kegiatan di kota (industrialisasi) >>> menghasilkan limbah cair >>>dibuang tanpa pengolahan (ke sungai) >>>sungai dimanfaatkan untuk mandi, cuci, kakus>>>penyakit menular.
3. Kegiatan di kota (lalu lintas alat transportasi)>>>emisi gas buang (asap) >>>mencemari udara kota>>>udara tidak layak dihirup>>>penyakit ISPA.
I. Healthy City (Kabupaten/kota sehat)
Dalam tatanan desentralisasi/otonomi daerah di bidang kesehatan, pencapaian Visi Indonesia Sehat 2010 ditentukan oleh pencapaian Visi Pembangunan Kesehatan setiap provinsi (yaitu Provinsi sehat). Khusus untuk Kabupaten/Kota, penetapan indikator hendaknya mengacu kepada indikator yang tercantum dalam Standard Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan. SPM ini dimasukkan sebagai bagian dari Indikator Kabupaten/Kota Sehat. Kemudian ditambah ha-hal spesifik yang hanya dijumpai/dilaksanakan di Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Misalnya Kota/Kabupaten yang area pertaniannya luas dicantumkan indikator pemakaian pestisida.
Di dalam SPM Kab/kota di Propinsi Jawa Tengah (Keputusan Gubernur Jawa Tengah ) pada point (huruf) “U” tentang Penyuluhan Perilaku Sehat disebutkan terdapat item Rumah Tangga Sehat (item 1), dimana disebutkan bahwa Rumah Tangga sehat adalah Proporsi Rumah Tangga yang memenuhi minimal 11 (sebelas) dari 16 indikator Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) tatanan Rumah Tangga. Lima diantara 16 indikator merupakan Perilaku yang berhubungan dengan Kesehatan Lingkungan, yaitu :
1. Menggunakan Air Bersih untuk kebutuhan sehari-hari
2. Menggunakan jamban yang memenuhi syarat kesehatan
3. Membuang sampah pada tempat yang disediakan
4. Membuang air limbah pada saluran yang memenuhi syarat
5. Mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air besar.
Terdapat juga Penilaian Rumah Sehat (rumah secara fisik : pencahayaan, kelembaban, ventilasi, dll)
Selain Rumah Tangga sehat terdapat pula point “R” yakni Pelayanan Kesehatan Lingkungan dimana item pertama (Institusi yang dibina) meliputi RS, Puskesmas, Sekolah, Instalasi Pengolahan Air Minum, Perkantoran, Industri Rumah Tangga dan Industri Kecil serta tempat penampungan pengungsi. Institusi yang dibina tersebut adalah unit kerja yang dalam memberikan pelayanan/jasa potensial menimbulkan resiko/dampak kesehatan.
Secara garis besar dapat diterangkan dengan diagram berikut :
Indonesia Sehat 2010
Indikator Indonesia Sehat (Kep. MenKes No 1202/MENKES/SK/VIII/2003)
Standard Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kab/Kota (KepMen 1457/Menkes/SK/X/2003)
Standard Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Kab/Kota di Provinsi Jawa Tengah (Kep.Gub. Jateng No 71 tahun 2004) Point “U” dan “R” yaitu :
Institusi yang dibina
Rumah Tangga Sehat
Rumah Sehat
Kumpulan Rumah Sehat, Rumah Tangga Sehat dan Institusi-institusi yang dibina akan mewujudkan Kabupaten/Kota sehat (Healthy City)
Kepustakaan :
Achmadi, Umar Fahmi, 1991. Transformasi Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan Kerja di Indonesia, Jakarta : UI Press.
Azwar, 1983. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Mutiara. Jakarta
Depkes RI, 1982. Sistem Kesehatan Nasional. Depkes RI.Jakarta
Ehler, Victor M. 1965., Municifal and Rural Sanitation. Mc. Graw Hill, Publishing Company Ltd, New Delhi.
Harsanto, et al.2002. Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat. Jakarta : Depkes RI.
Keputusan Gubernur Jawa Tengah No 71 tahun 2004 tentang Standard Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Kab/Kota di Provinsi Jawa Tengah
Keputusan Menteri Kesehatan No 1202/MENKES/SK/VIII/2003 tentang Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Penetapan Indikator Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat
Keputusan Menteri Kesehatan No 1457/Menkes/SK/X/2003 Standard Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kab/Kota
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1098/MENKES/SK/VII/2003 tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Rumah Makan dan Restoran
Leavel and Clark. 1965. Preventive Medicine for the Doctor in His Community, 3th Edition, McGraw-Hill Inc, New York.
Notoatmodjo, Soekidjo.2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat ; Prinsip-prinsip Dasar. Jakarta : Rineka Cipta.
Peraturan Menteri Kesehatan No 416 tahun 1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air
Purdom, 1980. Environmental Health.second edition. Academic Press.
Soeparman dan Suparmin. 2001.Pembuangan Tinja dan Limbah Cair : Suatu Pengantar. Jakarta : EGC.
Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
Wagner & Lanoix,1958. Excreta Disposal for Rural Areas and Small Comunities, World Health Organization. Geneva.
Soal Latihan :
1. Sebutkan pengertian kesehatan lingkungan menurut sintesa dari Azrul Azwar, Slamet Riyadi, WHO dan Sumengen !
2. Sebutkan ruang lingkup kesehatan lingkungan menurut Pasal 22 ayat (3) UU No 23 tahun 1992 !
3. Jelasakan konsep hubungan interaksi antara tiga komponen yang berperan dalam menimbulkan penyakit model ecology (Jhon Gordon)
4. Sebutkan karakteristik host, agent dan environmental dan beri contoh masing-masing 2 (diua) buah !
5. Sebutkan masalah-masalah kesehatan lingkungan di Indonesia dan apa penyebabnya ?
6. Jelaskan dengan contoh (2 saja), hubungan dan pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan masyarakat di perkotaan dan pemukiman !
7. Jelaskan dengan diagram, kaitan antara Indonesia sehat 2010, kesehatan lingkungan dan Healty city !
-oOo-
Advokasi Pencemaran Udara
diakses tanggal 12 Nopember 2007
Secara umum, terdapat 2 sumber pencemaran udara, yaitu pencemaran akibat sumber alamiah (natural sources), seperti letusan gunung berapi, dan yang berasal dari kegiatan manusia (anthropogenic sources), seperti yang berasal dari transportasi, emisi pabrik, dan lain-lain. Di dunia, dikenal 6 jenis zat pencemar udara utama yang berasal dari kegiatan manusia (anthropogenic sources), yaitu Karbon monoksida (CO), oksida sulfur (SOx), oksida nitrogen (NOx), partikulat, hidrokarbon (HC), dan oksida fotokimia, termask ozon.
Di Indonesia, kurang lebih 70% pencemaran udara disebabkan oleh emisi kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor mengeluarkan zat-zat berbahaya yang dapat menimbulkan dampak negatif, baik terhadap kesehatan manusia maupun terhadap lingkungan, seperti timbal/timah hitam (Pb), suspended particulate matter (SPM), oksida nitrogen (NOx), hidrokarbon (HC), karbon monoksida (CO), dan oksida fotokimia (Ox). Kendaraan bermotor menyumbang hampir 100% timbal, 13-44% suspended particulate matter (SPM), 71-89% hidrokarbon, 34-73% NOx, dan hampir seluruh karbon monoksida (CO) ke udara Jakarta. Sumber utama debu berasal dari pembakaran sampah rumah tangga, di mana mencakup 41% dari sumber debu di Jakarta. Sektor industri merupakan sumber utama dari sulfur dioksida. Di tempat-tempat padat di Jakarta konsentrasi timbal bisa 100 kali dari ambang batas.
Sementara itu, laju pertambahan kendaraan bermotor di Jakarta mencapai 15% per tahun sehingga pada tahun 2005 diperkirakan jumlah kendaraan bermotor di Jakarta mencapai 2,8 juta kendaraan. Seiring dengan laju pertambahan kendaraan bermotor, maka konsumsi bahan bakar juga akan mengalami peningkatan dan berujung pada bertambahnya jumlah pencemar yang dilepaskan ke udara.
Tahun 1999, konsumsi premium untuk transportasi mencapai 11.515.401 kilo liter [Statistik Perminyakan Indonesia, Laporan Tahunan 1999 Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi]. Dalam setiap liter premium yang diproduksi, terkandung timbal (Pb) sebesar 0,45 gram sehingga jumlah Pb yang terlepas ke udara total sebesar 5.181,930 ton. Dengan pertumbuhan penjualan mobil dan sepeda motor sebesar 300% dan 50% diperkirakan tahun 2001 polusi akibat timbal (Pb) meningkat.
Menurut penelitian Jakarta Urban Development Project, konsentrasi timbal di Jakarta akan mencapai 1,7-3,5 mikrogram/meter kubik (ìg/m3) pada tahun 2000. Menurut Bapedalda Bandung, konsentrasi hidrokarbon mencapai 4,57 ppm (baku mutu PP 41/1999: 0,24 ppm), NOx mencapai 0,076 ppm (baku mutu: 0,05 ppm), dan debu mencapai 172 mg/m3 (baku mutu: 150 mg/m3).
Dampak Pencemaran Udara
Berdasarkan studi Bank Dunia tahun 1994, pencemaran udara merupakan pembunuh kedua bagi anak balita di Jakarta, 14% bagi seluruh kematian balita seluruh Indonesia dan 6% bagi seluruh angka kematian penduduk Indonesia. Jakarta sendiri adalah kota dengan kualitas terburuk ketiga di dunia.
Dampak terhadap kesehatan yang disebabkan oleh pencemaran udara akan terakumulasi dari hari ke hari. Pemaparan dalam jangka waktu lama akan berakibat pada berbagai gangguan kesehatan, seperti bronchitis, emphysema, dan kanker paru-paru. Dampak kesehatan yang diakibatkan oleh pencemaran udara berbeda-beda antarindividu. Populasi yang paling rentan adalah kelompok individu berusia lanjut dan balita. Menurut penelitian di Amerika Serikat, kelompok balita mempunyai kerentanan enam kali lebih besar dibandingkan orang dewasa. Kelompok balita lebih rentan karena mereka lebih aktif dan dengan demikian menghirup udara lebih banyak, sehingga mereka lebih banyak menghirup zat-zat pencemar.
Dampak dari timbal sendiri sangat mengerikan bagi manusia, utamanya bagi anak-anak. Di antaranya adalah mempengaruhi fungsi kognitif, kemampuan belajar, memendekkan tinggi badan, penurunan fungsi pendengaran, mempengaruhi perilaku dan intelejensia, merusak fungsi organ tubuh, seperti ginjal, sistem syaraf, dan reproduksi, meningkatkan tekanan darah dan mempengaruhi perkembangan otak. Dapat pula menimbulkan anemia dan bagi wanita hamil yang terpajan timbal akan mengenai anak yang disusuinya dan terakumulasi dalam ASI. Diperkirakan nilai sosial setiap tahun yang harus ditanggung akibat pencemaran timbal ini sebesar 106 juta Dollar USA atau sekitar 850 miliar rupiah.
Apa yang Harus Dilakukan?
Penanggulangan pencemaran udara tidak dapat dilakukan tanpa menanggulangi penyebabnya. Mempertimbangan sektor transportasi sebagai kontributor utama pencemaran udara, maka sektor ini harus mendapat perhatian utama.
  • WALHI menyerukan kepada pemerintah untuk memperbaiki sistem transportasi yang ada saat ini, dengan sistem transportasi yang lebih ramah lingkungan dan terjangkau oleh publik. Prioritas utama harus diberikan pada sistem transportasi massal dan tidak berbasis kendaraan pribadi.
  • WALHI juga menyerukan kepada pemerintah untuk segera memenuhi komitmennya untuk memberlakukan pemakaian bensin tanpa timbal.
  • Di sektor industri, penegakan hukum harus dilaksanakan bagi industri pencemar.
-oOo-
Metromini Penyebab Pencemaran Udara Terbesar Di Jakarta
Selasa, 18 Januari 2005 | 07:16 WIB
http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2005/01/18/brk,20050118-10,id.html
TEMPO Interaktif, Jakarta: Tingginya tingkat pencemaran udara di Jakarta tidak lain disebabkan oleh meningkatnya jumlah angkutan umum yang menggunakan bahan bakar solar.

"60 persen pencemaran udara di Jakarta disebabkan karena benda yang bergerak atau transportasi umum, terutama karena mereka memakai bahan bakar solar, " kata Senior Program Officer Clean Air Project (Swisscontact), Paul Butar-Butar saat pertemuan dengan Komisi D DPRD DKI di ruang rapat komisi D, Jakarta, Senin (17/1).

Paul menyatakan, 94 persen penyakit pernafasan yang diderita oleh masyarakat Jakarta disebabkan oleh pencemaran udara luar ruang. Seperti yang disebabkan oleh asap dari angkutan umum, misalnya metromini yang menggunakan bahan bakar solar.

Sedangkan 30 persen penyakit pernafasan, disebabkan oleh pencemaran dalam ruang seperti adanya asap rokok di ruang yang menggunakan AC.

Paul menilai, uji emisi yang telah diluncurkan sejak 2002, yang telah dirintis oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta bekerjasama dengan berbagai LSM tidak menghasilkan dampak yang signifikan. Karena masih banyaknya kendaraan yang menggunakan bahan bakar solar dan tidak layak jalan.

"Dari hasil survei karbonmonoksida (CO2), 50 persen kendaraan yang ada itu tidak lolos uji emisi. Kadar CO2 mereka berada di atas ambang batas (500), " jelas Paul.

Mengingat kondisi udara Jakarta yang semakin mengkhawatirkan, Paul berharap agar pemerintah segera menetapkan kebijakan khusus yang mengatur hal tersebut, khususnya sanksi yang tegas dan lebih berat.

Denda maksimal Rp 5 juta dan hukuman pidana kurungan paling lama 6 bulan dinilai terlalu ringan bagi pelanggar pencemaran udara.

Seharusnya, kata Paul, dasar acuan penetapan sanksi berdasar pada UU No. 32 tahun 2004 yang menetapkan denda sebanyak-banyaknya Rp 50 juta.

Anggota komisi D dari Fraksi Partai Demokrat, Denny Taloga sependapat dengan Paul. Menurut Denny, pemerintah saat ini harus bisa melakukan tindakan yang tegas terhadap pada pelanggar pencemaran udara. "Denda itu terlalu kecil, seharusnya Rp 50 juta bukan Rp 5 juta," kata Denny.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Fauzy Bowo, dalam rapat paripurna DPRD, menyatakan setuju besaran denda yang disampaikan oleh beberapa fraksi beberapa waktu lalu. Yaitu dengan mengacu pada UU No. 32 tahun 2004 yang menetapkan denda sebanyak-banyaknya Rp 50 juta dan pidana kurungan paling lama 6 bulan.

Untuk mengurangi pencemaran udara yang diakibatkan oleh angkutan umum, pihaknya juga kan menggalang aksi pemasyarakatan pemakaian Bahan Bakar Gas (BBG).
"Sebagai langkah awal, pemasyarakatan BBG ini akan diberlakukan pada berbagai kendaraan dinas operasional instansi pemerintah maupun BUMD, " kata Fauzy. suryani ika sari

Sampah Swakelola Sha-Link WALHI Yogyakarta

http://www.walhi.or.id/kampanye/cemar/sampah/060120_smphswkl_/ tanggal 12 Nopember 2007

Pertumbuhan penduduk diakui atau tidak, telah menimbulkan akibat bertambahnya pola konsumsi masyarakat yang akhirnya menyebabkan bertambahnya volume sampah. Bertambahnya volume bukan hanya pada jumlah, tetapi juga pada jenis sampah yang semakin beragam. Kondisi ini diperparah dengan pola hidup masyarakat yang instan dan paradigma masyarakat yang masih menganggap sampah sebagai sesuatu yang harus dibuang dan disingkirkan.
Di sisi lain, pengelolaan sampah hanya dilakukan sebagai sesuatu yang bersifat rutin, yaitu hanya dengan cara memindahkan, membuang, dan memusnahkan sampah. Pada akhirnya, hal ini berdampak pada semakin langkanya tempat untuk membuang sampah dan produksi sampah yang semakin banyak mencapai ribuan m3/hari, menyebabkan merebaknya TPA/TPS ilegal di berbagai tempat baik lahan kosong maupun di sungai – sungai yang terdapat di wilayah DI Yogyakarta.
Di Kabupaten Bantul saja, terdapat paling tidak 12 TPA/TPS ilegal lahan kosong dan di sungai mencapai 7 TPA/TPS ilegal. Di Kabupaten Sleman, terdapat 10 TPA/TPS ilegal lahan kosong dan di sungai mencapai 21 TPA/TPS ilegal. Di Kota Yogyakarta sendiri, terdapat 24 TPS/TPA ilegal di sungai.
Ribuan m3/hari sampah yang ada tidak terangkut semuanya. Itu terlihat di Kota Yogyakarta dari 1.724 m3 sampah yang terangkut 1.321 m3/hari. Kabupaten Bantul dari 1.145 m3/hari sampah yang terangkut 178 m3/hari dan kabupaten Sleman dari 1.268 m3/hari sampah yang terangkut 285 m3/hari. Bisa dibayangkan, sampah yang tidak terangkut berada di sungai, lahan kosong, atau di rumah.
Bagaimana potret kehidupan masyarakat ke depan, jika persoalan ini tidak segera diselesaikan. Permasalahan sampah bukan hanya berdampak pada persoalan lingkungan, tetapi juga telah menimbulkan kerawanan sosial dan bencana kemanusiaan. Berbagai kasus, seperti di Bantargerbang, Bojong Gede, dan Leuwigajah, mengingatkan kita bahwa persoalan sampah bukan sesuatu yang bisa dianggap sepele.
Pendekatan persoalan sampah biasanya menggunakan paradigma end–pipe of solution (pendekatan ujung-pipa) sudah saatnya digeser ke pendekatan sumber. Dengan pendekatan sumber sampah ditangani dari sumber pembuangannya. Hal ini lebih efektif daripada pengolahan di TPA (tempat pembuangan akhir). Penerapan prinsip 4R: mengganti (“replace”), mengurangi (“reduce’), memakai kembali (“re-use”), mendaur ulang (“recycle”), merupakan paradigma yang terbukti mampu menangani permasalahan sampah secara mandiri.
Pengelolaaan sampah swakelola Sukunan, Banyuraden, Gamping, Kabupaten Sleman adalah salah satu contohnya. Penanganan sampah mulai dari sumbernya, yaitu dari rumah tangga, terbukti mampu mengelola potensi sampah yang selama ini luput dari perhatian masyarakat. Sampah organik yang selama ini dibuang karena bau dapat dimanfaatkan lagi menjadi kompos. Sedangkan sampah kertas, plastik, logam, dan kaca, mampu dimanfaatkan sebagai kerajinan seni atau dijual ke industri pengolahan selanjutnya.
Contoh lain adalah di Gondolayu Lor, Cokrodiningratan, Jetis, Kota Yogyakarta, tengah memproduksi secara massal alat pembuatan kompos. Mereka juga memilah sampah non organik, mulai plastik dan kertas yang masih mempunyai nilai ekonomis, dimanfaatkan dan dikelola, serta sampah non organik lainnya akan dibuang di tempat khusus. Terobosan masyarakat ini, merupakan sesuatu yang perlu kita dorong dan kembang-tularkan ke tempat-tempat yang lain.
Kegiatan simulasi pengolahan sampah swakelola dan pembuatan bakteri yang dilaksanakan pada tanggal 14 Januari 2006 ini, merupakan upaya untuk mengatasi permasalahan di atas, dan juga menindaklanjuti hasil kunjungan Sahabat Lingkungan bersama Sheep dan Yasanti, yang merupakan anggota WALHI Yogyakarta, beserta masyarakat dampingannya ke Sukunan pada tanggal 21 Desember 2005.
Kegiatan ini juga melibatkan anggota WALHI Yogyakarta yang lain, yaitu Mitra Tani (sebagai narasumber) dan kegiatan ini dilaksanakan di Gubuk Rembug Lingkungan yang merupakan Crisis Center WALHI Yogyakarta, dimana salah satu fungsinya adalah sebagai pusat pelatihan pendidikan lingkungan. Kegiatan ini merupakan upaya menciptakan budaya baru dalam masyarakat, mulai dari pemilahan, pengolahan, dan pemanfaatan sampah menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomi, sehingga permasalahan sampah, baik dari segi lingkungan maupun sosial, bisa berkurang, bahkan dapat teratasi.
1001 Permasalahan Sanitasi
Berbicara sanitasi, berarti kita lebih jauh membicarakan kesehatan lingkungan. Saat ini, banyak sekali permasalahan lingkungan yang harus dihadapi dan sangat mengganggu terhadap tercapainya kesehatan lingkungan. Ironisnya, hanya Rp 200,00/orang/tahun yang disediakan pemerintah dalam 30 tahun terakhir untuk mengatasi masalah ini, padahal kebutuhan ideal per orang setiap tahunnya adalah Rp 47.000,00.
Sungguh satu nilai yang jauh berbeda, padahal kesehatan lingkungan bisa berakibat positif terhadap kondisi elemen-elemen hayati dan non hayati dalam ekosistem itu sendiri. Bila lingkungan tidak sehat maka sakitlah elemennya, tapi sebaliknya jika lingkungan sehat maka sehat pulalah ekosistem tersebut. Perilaku kurang baik dari manusia, telah mengakibatkan perubahan ekosistem dan timbulnya sejumlah permasalahan sanitasi.
Pertama, kebocoran septic tank. Saat ini sekitar 70 persen air tanah di daerah perkotaan sudah tercemar berat bakteri tinja, padahal separuh penduduk perkotaan masih menggunakan air tanah. Banyak hal yang mengakibatkan kebocoran atau bahkan rembesan limbah septic tank, padatnya perumahan bisa mempercepat terjadinya kondisi ini, seperti dimuat Pikiran Rakyat (Senin, 19/2), 2007 merupakan tahun emas industri perumahan. Satu kondisi yang perlu diantisipasi dampaknya sejak dini.
Bappenas menyatakan, saat ini standar nasional tentang konstruksi septic tank sudah ada, tetapi dalam implementasinya kurang ditunjang oleh aturan-aturan lainnya, seperti belum adanya aturan yang membatasi jumlah septic tank per satuan luas kawasan. Demikian pula dengan aturan yang mewajibkan penyedotan tinja secara rutin dan pihak yang merasa berkepentingan memeriksa isi septic tank, belum ada. Selain itu, masih ada anggapan dari masyarakat bahwa bagus dan tidaknya septic tank hanya dirasakan oleh pemiliknya saja.
Kedua, MCK yang tidak berfungsi secara optimal baik karena usang, salah konstruksi, tidak terawat, tidak ada air, maupun masyarakat yang belum siap menerima keberadaannya sesuai fungsinya. Ketiga, saluran air yang tersumbat. Seharusnya fungsi saluran tersebut adalah mengalirkan air hujan, tetapi dalam pelaksanaannya dipakai menampung air kakus dan sampah sehingga jadi sarang penyakit. Keempat, melakukan aktivitas harian di sungai yang tercemar terjadi akibat terbatasnya akses masyarakat terhadap sarana MCK dan air bersih.
Kelima, pembuatan jamban yang asal-asalan, 35 persen jamban di kawasan perkotaan tidak ada air, tidak ada atap atau tidak tersambung ke septic tank. Keenam, influein industri di kawasan pemukiman sebagian besar dialirkan ke sungai tanpa proses pengelolaan terlebih dahulu. Ketujuh, buang air besar sembarangan. Lebih dari 12 persen penduduk perkotaan Indonesia sama sekali tidak memiliki akses ke sarana jamban (Susenas 2004). Artinya, belasan juta penduduk perkotaan Indonesia masih membuang tinja langsung di kebun, selokan, ataupun sungai. Kedelapan, pembuangan liar lumpur tinja. Pada kenyataannya, saat ini banyak truk tinja membuang langsung muatannya ke sungai, alasannya tidak ada IPLT, IPLT tidak berfungsi atau petugasnya malas.
Pembangunan masyarakat kota
Membaiknya sanitasi suatu kota, berarti juga mengurangi penyakit-penyakit akibat buruknya sanitasi di masyarakat yang disebabkan oleh bakteri patogen, jamur, maupun cacing parasit. Meluasnya penyakit seperti flu burung juga disebabkan oleh buruknya sanitasi. Padahal jelas, hasil riset Bappenas menyatakan, sanitasi yang baik mampu mengurangi biaya kesehatan 6 - 19 persen, bahkan mengurangi biaya pengobatan sekitar 2 - 5 persen.
Contoh konkret bisa kita lihat di Bandung dan Jakarta, dua kota besar yang ada di Indonesia sekaligus ibu kota provinsi dan negara. ”Jakarta kebanjiran....” itulah sepenggal syair yang pernah dinyanyikan oleh Benyamin S. (alm) semasa hidupnya. Setidaknya syair tersebut menunjukkan betapa banjir senantiasa menjadi kejadian tahunan di ibu kota. Tahun 2007, sedikitnya 70 persen wilayah Jakarta terendam banjir sebagai akibat kesalahan dalam rencana tata ruang dan wilayah (RTRW). Kerugian yang dialami akibat bencana ini mencapai Rp 8 triliun dan berdampak luas pada perekonomian bangsa.
Kasus banjir ini sudah menyita banyak waktu dan perhatian masyarakat, siapa yang pantas disalahkan atau bahkan apa yang salah dalam hal ini? Satu pertanyaan yang harus dicari jawabannya karena dari hasil penelitian menyatakan bahwa sanitasi yang baik ternyata meningkatkan waktu produktif masyarakat sekitar 34-79 persen. Tentunya tanpa harus mengurus lumpur banjir yang mampir ke rumah mereka.
Kejadian serupa pernah mampir di Kota Bandung tahun 2006 lalu. Longsornya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah, sempat membuat pusing tujuh keliling pemerintah Kota Bandung. TPA itu pun ditutup. Akibatnya, pengangkutan sampah masyarakat oleh petugas dari PD Kebersihan terhenti, sampah berserakan, lalat beterbangan menebar penyakit, bau tak sedap tercium setiap kali melewati daerah timbunan sampah. Banyak yang mengeluh karena sakit diare atau pernapasan, bahkan para pejalan kaki, pengguna kendaraan banyak yang mengeluh karena baunya, konsumen-konsumen di pasar-pasar tradisional pun merasa tidak nyaman saat berbelanja. Kembali pemerintah dan masyarakat Bandung harus menanggung malu, karena mendapat predikat “kota terkotor”. Para pejabat negara turun tangan, mulai dari gubernur hingga Menteri Lingkungan Hidup.
Kota Bandung kembali harus merogoh kocek lebih dalam lagi untuk mengatasi masalah ini. Tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan, belum lagi pencemaran air akibat lindi sampah yang tidak tertangani. Data Bappenas menyebutkan, akibat buruknya sanitasi mengakibatkan 70 persen air tanah tercemar dan 75 persen air sungai tercemar. Padahal, 50 persen penduduk perkotaan saat ini masih menggunakan air tanah untuk kehidupan sehari-hari.
Wajar kalau kemudian Ir. Ratna Hidayat, seorang peneliti lingkungan pengairan, menyatakan bahwa kondisi air Citarum sangat kritis dengan kandungan bakteri E.coli-nya mencapai 50.000/100 ml, sehingga perlu proses yang agak panjang dalam memanfaatkannya (Pikiran Rakyat, 4/12/2006). Biaya produksi PDAM meningkat sekitar 25 persen dari rata-rata tarif air nasional. Bahkan, ekspor hasil perikanan Indonesia pun pernah ditolak karena diindikasikan tercemar salmonella.
Bangsa yang maju bisa terlihat dari kemampuan SDM-nya dalam menata lingkungan atau tempat tinggalnya. Kanada dan Brasil, dua negara yang mampu membiayai operasional wilayahnya hanya dengan mengelola sampah dengan baik. Tidak pelak lagi terjadi pertumbuhan ekonomi yang cukup baik, karena minimnya biaya operasional dan meningkatnya pertumbuhan ekonomi kota, pastinya investor pun akan datang dengan sendiriya dan tentunya disambut dengan tangan-tangan handal dari SDM-SDM yang terlahir dari bangsa yang berhasil menata lingkungannya dengan baik.***
Dine Andriani S.Pt.
Koordinator Kelompok Kerja Komunikasi Air (K3A).
Tanggal
:
20 Februari 2007 12:08 WIB
Judul
:
Seminal Nasional Peningkatan Kualitas Lingkungan Perumahan Dan Permukiman Di Indonesia
Sumber
:
Sesmen
Pada tanggal 15 Februari 2007 diadakan Seminal Nasional Peningkatan Kualitas Lingkungan Perumahan Dan Permukiman Di Indonesia. Bertempat di Aula Barat Institut Teknologi Bandung, dimana perkotaan dengan kompleksitas permasalahan yang ada di tambah laju urbanisasi yang mencapai 4,4% per tahun membuat kebutuhan perumahan di perkotaan semakin meningkat, sementara itu ketersediaan lahan menjadi semakin langka. Kelangkaan ini menyebabkan semakin mahalnya harga lahan di pusat kota, sehingga mendorong masyarakat berpeng-hasilan menengah-bawah tinggal di kawasan pinggiran kota yang jauh dari tempat kerja. Kondisi ini menyebabkan meningkatkan biaya transportasi, waktu tempuh, dan pada akhirnya akan menurunkan mobilitas dan produktivitas masyarakat. Sedangkan sebagian masyarakat tinggal di kawasan yang tidak jauh dari pusat aktivitas ekononomi, sehingga menyebabkan ketidak-teraturan tata ruang kota dan dapat menumbuhkan kawasan kumuh baru.

Kecenderungan Global menuju Abad Perkotaan dimana petumbuhan penduduk lebih cepat bila dibandingkan dengan pertambahan penduduk di perdesaan (urbanisasi). Bila dihubungkan dengan fenomena tersebut membawa kondisi kemasyarakatan di kawasan perkotaan menjadi lebih kompleks berikut permasalahan yang timbul. Hal ini banyak disebabkan oleh tingkat persaingan untuk mencari penghidupan di perkotaan semakin ketat seiring dengan bertambhanya jumlah penduduk. Dampak lingkungan hunian yang lazim adalah bertambahnya jumlah masyarakat kawasan permukiman yang tidak layak huni, kurang sarana – prasarana, dan tidak teratur (kumuh). Lokasi permukiman tersebut cenderung berada pada kawasan yang tidak diperentukan sebagai kawasan hunian seperti pinggir kali, pinggir rel kreta api, dan areal tidak resmi lainnya. Akibatnya berbagai dampak lingkungan lanjutan seperti banjir, penyakit menular dan keamanan lingkungan menambah tugas rumah bagi pemerintah kota dan pusat.

PENDIDIKAN KESEHATAN MASYARAKAT

A. Prinsip pendidikan kesehatan
1. Pendidikan kesehatan bukan hanya pelajaran di kelas, tetapi merupakan kumpulan pengalaman dimana saja dan kapan saja sepanjang dapat mempengaruhi pengetahuan sikap dan kebiasaan sasaran pendidikan.
2. Pendidikan kesehatan tidak dapat secara mudah diberikan oleh seseorang kepada orang lain, karena pada akhirnya sasaran pendidikan itu sendiri yang dapat mengubah kebiasaan dan tingkah lakunya sendiri.
3. Bahwa yang harus dilakukan oleh pendidik adalah menciptakan sasaran agar individu, keluarga, kelompok dan masyarakat dapat mengubah sikap dan tingkah lakunya sendiri.
4. Pendidikan kesehatan dikatakan berhasil bila sasaran pendidikan (individu, keluarga, kelompok dan masyarakat) sudah mengubah sikap dan tingkah lakunya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
B. Ruang lingkup pendidikan kesehatan masyarakat
Ruang lingkup pendidikan kesehatan masyarakat dapat dilihat dari 3 dimensi :
1. Dimensi sasaran
a. Pendidikan kesehatan individu dengan sasaran individu
b. Pendidikan kesehatan kelompok dengan sasaran kelompok masyarakat tertentu.
c. Pendidikan kesehatan masyarakat dengan sasaran masyarakat luas.
2. Dimensi tempat pelaksanaan
a. Pendidikan kesehatan di rumah sakit dengan sasaran pasien dan keluarga
b. Pendidikan kesehatan di sekolah dengan sasaran pelajar.
c. Pendidikan kesehatan di masyarakat atau tempat kerja dengan sasaran masyarakat atau pekerja.
3. Dimensi tingkat pelayanan kesehatan
a. Pendidikan kesehatan promosi kesehatan (Health Promotion), misal : peningkatan gizi, perbaikan sanitasi lingkungan, gaya hidup dan sebagainya.
b. Pendidikan kesehatan untuk perlindungan khusus (Specific Protection) misal : imunisasi
c. Pendidikan kesehatan untuk diagnosis dini dan pengobatan tepat (Early diagnostic and prompt treatment) misal : dengan pengobatan layak dan sempurna dapat menghindari dari resiko kecacatan.
d. Pendidikan kesehatan untuk rehabilitasi (Rehabilitation) misal : dengan memulihkan kondisi cacat melalui latihan-latihan tertentu.
C. Metode pendidikan kesehatan
1. Metode pendidikan Individual (perorangan)
Bentuk dari metode individual ada 2 (dua) bentuk :
a. Bimbingan dan penyuluhan (guidance and counseling), yaitu ;
1) Kontak antara klien dengan petugas lebih intensif
2) Setiap masalah yang dihadapi oleh klien dapat dikorek dan dibantu penyelesaiannya.
3) Akhirnya klien tersebut akan dengan sukarela dan berdasarkan kesadaran, penuh pengertian akan menerima perilaku tersebut (mengubah perilaku)
b. Interview (wawancara)
1) Merupakan bagian dari bimbingan dan penyuluhan
2) Menggali informasi mengapa ia tidak atau belum menerima perubahan, untuk mengetahui apakah perilaku yang sudah atau yang akan diadopsi itu mempunyai dasar pengertian dan kesadaran yang kuat, apabila belum maka perlu penyuluhan yang lebih mendalam lagi.
2. Metode pendidikan Kelompok
Metode pendidikan Kelompok harus memperhatikan apakah kelompok itu besar atau kecil, karena metodenya akan lain. Efektifitas metodenya pun akan tergantung pada besarnya sasaran pendidikan.
a. Kelompok besar
1) Ceramah ; metode yang cocok untuk sasaran yang berpendidikan tinggi maupun rendah.
2) Seminar ; hanya cocok untuk sasaran kelompok besar dengan pendidikan menengah ke atas. Seminar adalah suatu penyajian (presentasi) dari satu ahli atau beberapa ahli tentang suatu topik yang dianggap penting dan biasanya dianggap hangat di masyarakat.
b. Kelompok kecil
1) Diskusi kelompok ;
Dibuat sedemikian rupa sehingga saling berhadapan, pimpinan diskusi/penyuluh duduk diantara peserta agar tidak ada kesan lebih tinggi, tiap kelompok punya kebebasan mengeluarkan pendapat, pimpinan diskusi memberikan pancingan, mengarahkan, dan mengatur sehingga diskusi berjalan hidup dan tak ada dominasi dari salah satu peserta.
2) Curah pendapat (Brain Storming) ;
Merupakan modifikasi diskusi kelompok, dimulai dengan memberikan satu masalah, kemudian peserta memberikan jawaban/tanggapan, tanggapan/jawaban tersebut ditampung dan ditulis dalam flipchart/papan tulis, sebelum semuanya mencurahkan pendapat tidak boleh ada komentar dari siapa pun, baru setelah semuanya mengemukaan pendapat, tiap anggota mengomentari, dan akhirnya terjadi diskusi.
3) Bola salju (Snow Balling)
Tiap orang dibagi menjadi pasangan-pasangan (1 pasang 2 orang). Kemudian dilontarkan suatu pertanyaan atau masalah, setelah lebih kurang 5 menit tiap 2 pasang bergabung menjadi satu. Mereka tetap mendiskusikan masalah tersebut, dan mencari kesimpulannya. Kemudian tiap 2 pasang yang sudah beranggotakan 4 orang ini bergabung lagi dengan pasangan lainnya dan demikian seterusnya akhirnya terjadi diskusi seluruh kelas.
4) Kelompok kecil-kecil (Buzz group)
Kelompok langsung dibagi menjadi kelompok kecil-kecil, kemudian dilontarkan suatu permasalahan sama/tidak sama dengan kelompok lain, dan masing-masing kelompok mendiskusikan masalah tersebut. Selanjutnya kesimpulan dari tiap kelompok tersebut dan dicari kesimpulannya.
5) Memainkan peranan (Role Play)
Beberapa anggota kelompok ditunjuk sebagai pemegang peranan tertentu untuk memainkan peranan tertentu, misalnya sebagai dokter puskesmas, sebagai perawat atau bidan, dll, sedangkan anggota lainnya sebagai pasien/anggota masyarakat. Mereka memperagakan bagaimana interaksi/komunikasi sehari-hari dalam melaksanakan tugas.
6) Permainan simulasi (Simulation Game)
Merupakan gambaran role play dan diskusi kelompok. Pesan-pesan disajikan dalam bentuk permainan seperti permainan monopoli. Cara memainkannya persis seperti bermain monopoli dengan menggunakan dadu, gaco (penunjuk arah), dan papan main. Beberapa orang menjadi pemain, dan sebagian lagi berperan sebagai nara sumber.
3. Metode pendidikan Massa
Pada umumnya bentuk pendekatan (cara) ini adalah tidak langsung. Biasanya menggunakan atau melalui media massa. Contoh :
a. Ceramah umum (public speaking)
Dilakukan pada acara tertentu, misalnya Hari Kesehatan Nasional, misalnya oleh menteri atau pejabat kesehatan lain.
b. Pidato-pidato diskusi tentang kesehatan melalui media elektronik baik TV maupun radio, pada hakikatnya adalah merupakan bentuk pendidikan kesehatan massa.
c. Simulasi, dialog antar pasien dengan dokter atau petugas kesehatan lainnya tentang suatu penyakit atau masalah kesehatan melalui TV atau radio adalah juga merupakan pendidikan kesehatan massa. Contoh : ”Praktek Dokter Herman Susilo” di Televisi.
d. Sinetron ”Dokter Sartika” di dalam acara TV juga merupakan bentuk pendekatan kesehatan massa. Sinetron Jejak sang elang di Indosiar hari Sabtu siang (th 2006)
e. Tulisan-tulisan di majalah/koran, baik dalam bentuk artikel maupun tanya jawab /konsultasi tentang kesehatan antara penyakit juga merupakan bentuk pendidikan kesehatan massa.
f. Bill Board, yang dipasang di pinggir jalan, spanduk poster dan sebagainya adalah juga bentuk pendidikan kesehatan massa. Contoh : Billboard ”Ayo ke Posyandu”. Andalah yang dapat mencegahnya (Pemberantasan Sarang Nyamuk).
D. Alat bantu dan media pendidikan kesehatan
1. Alat bantu (peraga)
a. Pengertian ;
Alat-alat yang digunakan oleh peserta didik dalam menyampaikan bahan pendidikan/pengajaran, sering disebut sebagai alat peraga. Elgar Dale membagi alat peraga tersebut menjadi 11 (sebelas) macam, dan sekaligus menggambarkan tingkat intensitas tiap-tiap alat bantu tersebut dalam suatu kerucut. Menempati dasar kerucut adalah benda asli yang mempunyai intensitas tertinggi disusul benda tiruan, sandiwara, demonstrasi, field trip/kunjungan lapangan, pameran, televisi, film, rekaman/radio, tulisan, kata-kata. Penyampaian bahan dengan kata-kata saja sangat kurang efektif/intensitasnya paling rendah.
b. Faedah alat bantu pendidikan
1) Menimbulkan minat sasaran pendidikan.
2) Mencapai sasaran yang lebih banyak.
3) Membantu mengatasi hambatan bahasa.
4) Merangsang sasaran pendidikan untuk melaksanakan pesan-pesan kesehatan.
5) Membantu sasaran pendidikan untuk belajar lebih banyak dan cepat.
6) Merangsang sasaran pendidikan untuk meneruskan pesan-pesan yang diterima kepada orang lain.
7) Mempermudah penyampaian bahan pendidikan/informasi oleh para pendidik/pelaku pendidikan.
8) Mempermudah penerimaan informasi oleh sasaran pendidikan.
Menurut penelitian ahli indra, yang paling banyak menyalurkan pengetahuan ke dalam otak adalah mata. Kurang lebih 75-87% pengetahuan manusia diperoleh/disalurkan melalui mata, sedangkan 13-25% lainnya tersalurkan melalui indra lain. Di sini dapat disimpulkan bahwa alat-alat visual lebih mempermudah cara penyampaian dan penerimaan informasi atau bahan pendidikan.
9) Mendorong keinginan orang untuk mengetahui, kemudian lebih mendalami, dan akhirnya memberikan pengertian yang lebih baik.
10) Membantu menegakkan pengertian yang diperoleh.
c. Macam-macam alat bantu pendidikan
1) Alat bantu lihat (visual aids) ;
- alat yang diproyeksikan : slide, film, film strip dan sebagainya.
- alat yang tidak diproyeksikan ; untuk dua dimensi misalnya gambar, peta, bagan ; untuk tiga dimensi misalnya bola dunia, boneka, dsb.
2) Alat bantu dengar (audio aids) ; piringan hitam, radio, pita suara, dsb.
3) Alat bantu lihat dengar (audio visual aids) ; televisi dan VCD.
d. Sasaran yang dicapai alat bantu pendidikan
1) Individu atau kelompok
2) Kategori-kategori sasaran seperti ; kelompok umur, pendidikan, pekerjaan, dsb.
3) Bahasa yang mereka gunakan
4) Adat istiadat serta kebiasaan
5) Minat dan perhatian
6) Pengetahuan dan pengalaman mereka tentang pesan yang akan diterima.
e. Merencanakan dan menggunakan alat peraga
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :
1) Tujuan pendidikan, tujuan ini dapat untuk :
a) Mengubah pengetahuan / pengertian, pendapat dan konsep-konsep.
b) Mengubah sikap dan persepsi.
c) Menanamkan tingkah laku/kebiasaan yang baru.
2) Tujuan penggunaan alat peraga
a) Sebagai alat bantu dalam latihan / penataran/pendidikan.
b) Untuk menimbulkan perhatian terhadap sesuatu masalah.
c) Untuk mengingatkan sesuatu pesan / informasi.
d) Untuk menjelaskan fakta-fakta, prosedur, tindakan.
f. Persiapan penggunaan alat peraga
Semua alat peraga yang dibuat berguna sebagai alat bantu belajar dan tetap harus diingat bahwa alat ini dapat berfungsi mengajar dengan sendirinya. Kita harus mengembangkan ketrampilan dalam memilih, mengadakan alat peraga secara tepat sehingga mempunyai hasil yang maksimal.
Contoh : satu set flip chart tentang makanan sehat untuk bayi/anak-anak harus diperlihatkan satu persatu secara berurutan sambil menerangkan tiap-tiap gambar beserta pesannya. Kemudian diadakan pembahasan sesuai dengan kebutuhan pendengarnya agar terjadi komunikasi dua arah. Apabila kita tidak mempersiapkan diri dan hanya mempertunjukkan lembaran-lembaran flip chart satu demi satu tanpa menerangkan atau membahasnya maka penggunaan flip chart tersebut mungkin gagal.
g. Cara mengunakan alat peraga
Cara mempergunakan alat peraga sangat tergantung dengan alatnya. Menggunakan gambar sudah barang tentu lain dengan menggunakan film slide. Faktor sasaran pendidikan juga harus diperhatikan, masyarakat buta huruf akan berbeda dengan masyarakat berpendidikan. Lebih penting lagi, alat yang digunakan juga harus menarik, sehingga menimbulkan minat para pesertanya.
Ketika mempergunakan AVA, hendaknya memperhatikan :
1) Senyum adalah lebih baik, untuk mencari simpati.
2) Tunjukkan perhatian, bahwa hal yang akan dibicarakan/diperagakan itu, adalah penting.
3) Pandangan mata hendaknya ke seluruh pendengar, agar mereka tidak kehilangan kontrol dari pihak pendidik.
4) Nada suara hendaknya berubah-ubah, adalah agar pendengar tidak bosan dan tidak mengantuk.
5) Libatkan para peserta/pendengar, berikan kesempatan untuk memegang dan atau mencoba alat-alat tersebut.
6) Bila perlu berilah selingan humor, guna menghidupkan suasana dan sebagainya.
2. Media pendidikan kesehatan
Media pendidikan kesehatan pada hakikatnya adalah alat bantu pendidikan (audio visual aids/AVA). Disebut media pendidikan karena alat-alat tersebut merupakan alat saluran (channel) untuk menyampaikan kesehatan karena alat-alat tersebut digunakan untuk mempermudah penerimaan pesan-pesan kesehatan bagi masyarakat atau ”klien”. Berdasarkan fungsinya sebagai penyaluran pesan-pesan kesehatan (media), media ini dibagi menjadi 3 (tiga) : Cetak, elektronik, media papan (bill board)
1) Media cetak
1) Booklet : untuk menyampaikan pesan dalam bentuk buku, baik tulisan maupun gambar.
2) Leaflet : melalui lembar yang dilipat, isi pesan bisa gambar/tulisan atau keduanya.
3) Flyer (selebaran) ; seperti leaflet tetapi tidak dalam bentuk lipatan.
4) Flip chart (lembar Balik) ; pesan/informasi kesehatan dalam bentuk lembar balik. Biasanya dalam bentuk buku, dimana tiap lembar (halaman) berisi gambar peragaan dan di baliknya berisi kalimat sebagai pesan/informasi berkaitan dengan gambar tersebut.
5) Rubrik/tulisan-tulisan pada surat kabar atau majalah, mengenai bahasan suatu masalah kesehatan, atau hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan.
6) Poster ialah bentuk media cetak berisi pesan-pesan/informasi kesehatan, yang biasanya ditempel di tembok-tembok, di tempat-tempat umum, atau di kendaraan umum.
7) Foto, yang mengungkapkan informasi-informasi kesehatan.
2) Media elektronik
1) Televisi ; dapat dalam bentuk sinetron, sandiwara, forum diskusi/tanya jawab, pidato/ceramah, TV, Spot, quiz, atau cerdas cermat, dll.
2) Radio ; bisa dalam bentuk obrolan/tanya jawab, sandiwara radio, ceramah, radio spot, dll.
3) Video Compact Disc (VCD)
4) Slide : slide juga dapat digunakan untuk menyampaikan pesan/informasi kesehatan.
5) Film strip juga dapat digunakan untuk menyampaikan pesan kesehatan.
3) Media papan (bill board)
Papan/bill board yang dipasang di tempat-tempat umum dapat dipakai diisi dengan pesan-pesan atau informasi – informasi kesehatan. Media papan di sini juga mencakup pesan-pesan yang ditulis pada lembaran seng yang ditempel pada kendaraan umum (bus/taksi).
E. Perilaku kesehatan
1. Konsep perilaku
Skinner (1938) seorang ahli perilaku mengemukakan bahwa perilaku adalah merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan tanggapan (respons). Ia membagi respons menjadi 2 :
a. Respondent respons/reflexive respons, ialah respons yang ditimbulkan oleh rangsangan tertentu. Perangsangan semacam ini disebut elicting stimuli, karena menimbulkan respons-respons yang relatif tetap, misalnya : makanan lezat menimbulkan keluarnya air liur, cahaya yang kuat akan menimbulkan mata tertutup, dll. Respondent respons (respondent behavior) ini mencakup juga emosi respons atau emotional behavior. Emotional respons ini timbul karena hal yang kurang mengenakkan organisme yang bersangkutan. Misalnya menangis karena sedih/sakit, muka merah (tekanan darah meningkat karena marah). Sebaliknya hal-hal yang mengenakkan pun dapat menimbulkan perilaku emosional misalnya tertawa, berjingkat-jingkat karena senang, dll.
b. Operant Respons atau instrumental respons, adalah respons yang timbul dan berkembang diikuti oleh perangsangan tertentu. Perangsang semacam ini disebut reinforcing stimuli atau reinforcer, karena perangsangan-perangsangan tersebut memperkuat respons yang telah dilakukan oleh organisme. Oleh karena itu, perangsang yang demikian itu mengikuti atau memperkuat sesuatu perilaku tertentu yang telah dilakukan. Contoh : Apabila seorang anak belajar atau telah melakukan suatu perbuatan, kemudian memperoleh hadiah, maka ia akan menjadi lebih giat belajar atau akan lebih baik lagi melakukan perbuatan tersebut. Dengan kata lain, responsnya akan lebih intensif atau lebih kuat lagi.
2. Perilaku kesehatan
Yaitu suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Perilaku kesehatan mencakup 4 (empat) :
a. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit, yaitu bagaimana manusia merespons, baik pasif (mengetahui, mempersepsi penyakit dan rasa sakit yang ada pada dirinya maupun di luar dirinya, maupun aktif (tindakan) yang dilakukan sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut. Perilaku terhadap sakit dan penyakit ini dengan sendirinya sesuai dengan tingkatan-tingkatan pencegahan penyakit, misalnya : perilaku pencegahan penyakit (health prevention behavior), adalah respons untuk melakukan pencegahan penyakit, misalnya : tidur dengan kelambu untuk mencegah gigitan nyamuk malaria, imunisasi,dll. Persepsi adalah sebagai pengalaman yang dihasilkan melalui panca indra.
b. Perilaku terhadap pelayanan kesehatan, baik pelayanan kesehatan tradisional maupun modern. Perilaku ini mencakup respons terhadap fasilitas pelayanan, cara pelayanan, petugas kesehatan, dan obat-obatan, yang terwujud dalam pengetahuan, persepsi, sikap dan pengguanaan fasilitas, petugas dan obat-obatan.
c. Perilaku terhadap makanan (nutrition behavior), yakni respons seseorang terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan, meliputi pengetahuan, persepsi, sikap dan praktek kita terhadap makanan serta unsur-unsur yang terkandung di dalamnya/zat gizi, pengelolaan makanan, dll.
d. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (environmental health behavior) adalah respons seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan manusia. Lingkup perilaku ini seluas lingkup kesehatan lingkungan itu sendiri (dengan air bersih, pembuangan air kotor, dengan limbah, dengan rumah yang sehat, dengan pembersihan sarang-sarang nyamuk (vektor), dan sebagainya.
Becker (1979) mengajukan klasifikasi perilaku yang berhubungan dengan kesehatan (health behavior) sebagai berikut :
1) Perilaku kesehatan (health behavior), yaitu hal-hal yang berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya, termasuk juga tindakan-tindakan untuk mencegah penyakit, kebersihan perorangan, memilih makanan, sanitasi, dan sebagainya.
2) Perilaku sakit (illness behavior), yakni segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang individu yang merasakan sakit, untuk merasakan merasakan dan mengenal keadaan kesehatannya atau rasa sakit, termasuk kemampuan atau pengetahuan individu untuk mengidentifikasi penyakit, penyebab penyakit, serta usaha-usaha mencegah penyakit tersebut.
3) Perilaku peran sakit (the sick role behavior), yakni segala tindakan atau kegiatan yang dilakuakan oleh individu yang sedang sakit untuk memperoleh kesembuhan. Perilaku ini disamping berpengaruh terhadap kesehatan/kesakitannya sendiri, juga berpengaruh terhadap orang lain, terutama anak-anak yang belum mempunyai kesadaran dan tanggung jawab terhadap kesehatannya.
3. Bentuk perilaku
Secara lebih operasional, perilaku dapat diartikan suatu respons organisme atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek tersebut. Respons berbentuk 2 (dua) macam :
a. Bentuk pasif adalah respons internal, yaitu yang terjadi di dalam diri manusia dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain, misal tanggapan atau sikap batin dan pengetahuan. Misalnya ; seorang ibu tahu bahwa imunisasi itu mencegah suatu penyakit tertentu, meski ia tak membawa anaknya ke puskesmas, seseorang yang menganjurkan orang lain untuk ber-KB, meski ia tidak ikut KB. Dari contoh di atas ibu itu telah tahu guna imunisasi dan orang tersebut punya sikap positif mendukung KB, meski mereka sendiri belum melakukan secara konkret terhadap kedua hal tersebut. Oleh sebab itu perilaku mereka ini masih terselubung (covert behavior).
b. Bentuk aktif, yaitu perilaku itu jelas dapat diobservasi secara langsung. Misalnya pada kedua contoh di atas, si ibu sudah membawa anaknya ke puskesmas untuk imunisasi dan orang pada kasus kedua sudah ikut KB dalam arti sudah menjadi akseptor KB. Oleh karena itu perilaku mereka ini sudah tampak dalam bentuk tindakan nyata, maka disebut ”overt behavior”.
4. Domain perilaku kesehatan
a. Menurut Bloom
1) Perilku kognitif (kesadaran, pengetahuan)
2) Afektif (emosi )
3) Psikomotor (gerakan, tindakan)
b. Menurut Ki Hajar Dewantara
1) Cipta (peri akal)
2) Rasa (peri rasa)
3) Karsa (peri tindak)
c. Ahli-ahli lain
1) Knowledge (pengetahuan), yaitu hasil ”tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan (rasa, lihat, dengar, raba, bau) terhadap suatu obyek tertentu.
2) Attitude (sikap), yaitu reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau obyek. Ahli lain menyatakan kesiapan/kesediaan seseorang untuk bertindak.
3) Practice (tindakan/praktik). Suatu sikap belum tentu otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas. Sikap ibu yang positif terhadap imunisasi tersebut harus mendapat konfirmasi dari suaminya, dan ada fasilitas imunisasi yang mudah dicapai, agar ibu tersebut mengimunisasikan anaknya. Di samping faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari fihak lain, misal suami atau istri, orang tua atau mertua, sangat penting untuk mendukung praktek keluarga berencana.
d. Metode pendidikan untuk mengubah masing-masing domain perilaku
Merubah Pengetahuan
Merubah Sikap
Merubah Praktik
Ceramah
Diskusi Kelompok
Latihan sendiri
Kuliah
Tanya Jawab
Bengkel kerja
Presentasi
Role Playing
Demonstrasi
Wisata Karya
Pemutaran film
Eksperimen
Curah pendapat
Video
Seminar
Tape Recorder
Studi kasus
Simulasi
Tugas baca
Simposium
Panel
Konferensi
5. Tiga faktor pokok yang melatarbelakangi/mempengaruhi perilaku :
a. Faktor Predisposing, berupa pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, nilai, dll.
b. Faktor Enabling/pemungkin, berupa ketersediaan sumber-sumber/fasilitas, peraturan-peraturan.
c. Faktor Reinforcing/mendorong/memperkuat, berupa tokoh agama, tokoh masyarakat.
F. Perubahan perilaku dan proses belajar
1. Teori stimulus dan transformasi
Teori stimulus - respon kurang memperhitungkan faktor internal, dan transformasi yang telah memperhitungkan faktor internal. Teori stimulus respon yang berpangkal pada psikologi asosiasi menyatakan bahwa apa yang terjadi pada diri subjek belajar adalah merupakan rahasia atau biasa dilihat sebagai kotak hitam ( black box). Belajar adalah mengambil tanggapan - tanggapan dan menghubungkan tanggapan - tanggapan dengan mengulang - ulang. Makin banyak diberi stimulus, makin memperkaya tanggapan pada subyek belajar.
Teori transformasi yang berlandaskan psikologi kognitif, menyatakan bahwa belajar adalah merupakan proses yang bersifat internal di mana setiap proses tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, antara lain metode pengajaran. Faktor eksternal itu misalnya persentuhan, repetisi/pengulangan, penguat. Faktor internal misalnya fakta, informasi, ketrampilan, intelektual, strategi.
2. Teori-teori belajar sosial (social learning)
a. Teori belajar sosial dan tiruan dari Millers dan Dollard
Ada 3 macam mekanisme tingkah laku tiruan;
1) Tingkah laku sama (same behavior).
Contoh : dua orang yang berbelanja di toko yang sama dan dengan barang yang sama.
2) Tingkah laku tergantung (macthed dependent behavior).
Contoh : kakak-beradik yang menunggu ibunya pulang dari pasar. Biasanya ibu mereka membawa coklat (ganjaran). Adiknya juga mengikuti. Adiknya yang semula hanya meniru tingkah laku kakaknya, di lain waktu meski kakaknya tak ada, ia akan lari menjemput ibunya yang baru pulang dari pasar.
3) Tingkah laku salinan (copying behavior)
Perbedaannya dengan tingkah laku bergantung adalah dalam tingkah laku bergantung ini si peniru hanya bertingkah laku terhadap isyarat yang diberikan oleh model pada saat itu saja. Sedangkan pada tingkah laku salinan, si peniru memperhatikan juga tingkah laku model di masa lalu dan masa yang akan datang. Tingkah laku model dalam kurun waktu relatif panjang ini akan dijadikan patokan si peniru untuk memperbaiki tingkah lakunya sendiri di masa yang akan datang, sehingga lebih mendekati tigkah laku model.
b. Teori belajar sosial dari Bandura dan Walter
1) Efek modeling (modelling effect), yaitu peniru melakukan tingkah laku baru melalui asosiasi sehingga sesuai dengan tingkah laku model.
2) Efek menghambat (inhibition) dan menghapus hambatan (disinhibition), dimana tingkah laku yang tidak sesuai dengan model dihambat timbulnya, sedangkan tingkah laku yang sesuai dengan tingkah laku model dihapuskan hambatannya sehingga timbul tingkah laku yang dapat menjadi nyata.
3) Efek kemudahan (facilitation effect), yaitu tingkah laku-tingkah laku yang sudah pernah dipelajari oleh peniru lebih mudah muncul kembali dengan mengamati tingkah laku model.
Kepustakaan :
Ali, Zaidin. 2000. Dasar-dasar pendidikan kesehatan masyarakat, ed. 1.
Notoatmodjo, Soekidjo.2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat ; Prinsip-prinsip Dasar. Jakarta : Rineka Cipta
Depkes RI. Tt. Buku pedoman kerja Puskesmas jilid III
Soal Latihan :
1. Jelaskan prinsip-prinsip pendidikan kesehatan !
2. Jelaskan ruang lingkup pendidikan kesehatan masyarakat !
3. Sebutkan metode pendidikan kesehatan
4. Sebutkan macam-macam alat bantu pendidikan kesehatan !
5. Sebutkan metode pendidikan untuk mengubah masing-masing domain perilaku !
6. Jelaskan 3 faktor yang mempengaruhi perilaku !