1. Pengertian kesehatan
a) Menurut WHO
“Keadaan
yg meliputi kesehatan fisik, mental, dan sosial yg tidak hanya berarti
suatu keadaan yg bebas dari penyakit dan kecacatan.”
b) Menurut UU No 23 / 1992 ttg kesehatan
“Keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.”
2. Pengertian lingkungan
Menurut Encyclopaedia of science & technology (1960)
“ Sejumlah kondisi di luar dan mempengaruhi kehidupan dan perkembangan organisme.”
Menurut Encyclopaedia Americana (1974)
“ Pengaruh yang ada di atas/sekeliling organisme.”
Menurut A.L. Slamet Riyadi (1976)
“
Tempat pemukiman dengan segala sesuatunya dimana organismenya hidup
beserta segala keadaan dan kondisi yang secara langsung maupun tidak dpt
diduga ikut mempengaruhi tingkat kehidupan maupun kesehatan dari
organisme itu.”
3. Pengertian kesehatan lingkungan
Menurut HAKLI (Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia)
“
Suatu kondisi lingkungan yang mampu menopang keseimbangan ekologi yang
dinamis antara manusia dan lingkungannya untuk mendukung tercapainya
kualitas hidup manusia yang sehat dan bahagia.”
Menurut WHO (World Health Organization)
“Suatu keseimbangan ekologi yang harus ada antara manusia dan lingkungan agar dapat menjamin keadaan sehat dari manusia.”
Menurut kalimat yang merupakan gabungan (sintesa dari Azrul Azwar, Slamet Riyadi, WHO dan Sumengen)
“
Upaya perlindungan, pengelolaan, dan modifikasi lingkungan yang
diarahkan menuju keseimbangan ekologi pd tingkat kesejahteraan manusia
yang semakin meningkat.”
B. Ruang lingkup kesehatan lingkungan
Menurut WHO ada 17 ruang lingkup kesehatan lingkungan :
1) Penyediaan Air Minum
2) Pengelolaan air Buangan dan pengendalian pencemaran
3) Pembuangan Sampah Padat
4) Pengendalian Vektor
5) Pencegahan/pengendalian pencemaran tanah oleh ekskreta manusia
6) Higiene makanan, termasuk higiene susu
7) Pengendalian pencemaran udara
8) Pengendalian radiasi
9) Kesehatan kerja
10) Pengendalian kebisingan
11) Perumahan dan pemukiman
12) Aspek kesling dan transportasi udara
13) Perencanaan daerah dan perkotaan
14) Pencegahan kecelakaan
15) Rekreasi umum dan pariwisata
16) Tindakan-tindakan sanitasi yang berhubungan dengan keadaan epidemi/wabah, bencana alam dan perpindahan penduduk.
17) Tindakan pencegahan yang diperlukan untuk menjamin lingkungan.
Menurut Pasal 22 ayat (3) UU No 23 tahun 1992 ruang lingkup kesling ada 8 :
1) Penyehatan Air dan Udara
2) Pengamanan Limbah padat/sampah
3) Pengamanan Limbah cair
4) Pengamanan limbah gas
5) Pengamanan radiasi
6) Pengamanan kebisingan
7) Pengamanan vektor penyakit
8) Penyehatan dan pengamanan lainnya : Misal Pasca bencana.
C. Sasaran kesehatan lingkungan (Pasal 22 ayat (2) UU 23/1992
1) Tempat umum : hotel, terminal, pasar, pertokoan, dan usaha-usaha yang sejenis
2) Lingkungan pemukiman : rumah tinggal, asrama/yang sejenis
3) Lingkungan kerja : perkantoran, kawasan industri/yang sejenis.
4) Angkutan umum : kendaraan darat, laut dan udara yang digunakan untuk umum.
5) Lingkungan
lainnya : misalnya yang bersifat khusus seperti lingkungan yang berada
dlm keadaan darurat, bencana perpindahan penduduk secara besar2an,
reaktor/tempat yang bersifat khusus.
D. Sejarah perkembangan kesehatan lingkungan
1) Sebelum Orba
· Th 1882 : UU ttg hygiene dlm Bahasa Belanda.
· Th 1924 Atas Prakarsa Rochefeller foundation didirikan Rival Hygiene Work di Banyuwangi dan Kebumen.
· Th 1956 : Integrasi usaha pengobatan dan usaha kesehatan lingkungan di Bekasi hingga didirikan Bekasi Training Centre
· Prof. Muchtar mempelopori tindakan kesehatan lingkungan di Pasar Minggu.
· Th
1959 : Dicanangkan program pemberantasan Malaria sebagai program
kesehatan lingkungan di tanah air (12 Nopember = Hari Kesehatan
Nasional)
2) Setelah Orba
· Th 1968 : Program kesehatan lingkungan masuk dalam upaya pelayanan Puskesmas
· Th 1974 : Inpres Samijaga (Sarana Air Minum dan Jamban Keluarga)
· Adanya Program Perumnas, Proyek Husni Thamrin, Kampanye Keselamatan dan kesehatan kerja, dll.
E. Konsep hubungan interaksi antara Host – Agent Environmental
1. Tiga komponen/faktor yang berperan dalam menimbulkan penyakit Model Ecology (JHON GORDON).
· Agent (Agen/penyebab) : adalah penyebab penyakit pada manusia
· Host (tuan Rumah/Induk semang/penjamu/pejamu) adalah manusia yang ditumpangi penyakit.
· Lingkungan/environmental : Segala sesuatu yang berada di luar kehidupan organisme Cth : Lingkungan Fisik, Kimia, Biologi.
Interaksi antara agent, host dan lingkungan serta model ekologinya adalah sebagai berikut :
Antara agent Host dan lingkungan dalam keadaan seimbang sehingga tidak terjadi penyakit. Gambar sebagai berikut :
Pejamu Agent
Lingkungan
Peningkatan kemampuan agent untuk menginfeksi manusia serta mengakibatkan penyakit pada manusia. Gambar sebagai berikut :
Pejamu
Agent
Lingkungan
Perubahan lingkungan menyebabkan meningkatnya perkembangan agent. Gambar sebagai berikut :
Pejamu
Agent
Lingkungan
2. Karakteristik 3 komponen/ faktor yang berperan dalam menimbulkan penyakit
1) Karakteristik Lingkungan
· Fisik : Air, Udara, Tanah, Iklim, Geografis, Perumahan, Pangan, Panas, radiasi.
· Sosial : Status sosial, agama, adat istiadat, organisasi sosial politik, dll.
· Biologis : Mikroorganisme, serangga, binatang, tumbuh-tumbuhan.
2) Karakteristik Agent/penyebab penyakit
Agent
penyakit dapat berupa agent hidup atau agent tidak hidup. Agent
penyakit dapat dikualifikasikan menjadi 5 kelompok, yaitu :
a. Agent biologis
Beberapa penyakit beserta penyebab spesifiknya
Jenis agent
|
Spesies agent
|
Nama penyakit
|
Metazoa
|
Ascaris lumbricoides
|
Ascariasis
|
Protozoa
|
Plasmodium vivax
|
Malaria Quartana
|
Fungi
|
Candida albicans
|
Candidiasis
|
Bakteri
|
Salmonella typhi
|
Typhus abdominalis
|
Rickettsia
|
Rickettsia tsutsugamushi
|
Scrub typhus
|
Virus
|
Virus influenza
|
Influenza
|
b. Agent nutrien : protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral, dan air.
c. Agent fisik : suhu, kelembaban, kebisingan, radiasi, tekanan, panas.
d. Agent chemis/kimia : eksogen contoh ; alergen,gas, debu,
endogen contoh ; metabolit, hormon.
e. Agent mekanis : gesekan, pukulan, tumbukan, yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan.
3) Karakteristik Host/pejamu
Faktor
manusia sangat kompleks dalam proses terjadinya penyakit dan tergantung
dari karakteristik yang dimiliki oleh masing – masing individu, yakni :
a. Umur : penyakit arterosklerosis pada usia lanjut, penyakit kanker pada usia pertengahan
b. Seks : resiko kehamilan pada wanita, kanker prostat pada laki-laki
c. Ras : sickle cell anemia pada ras negro
d. Genetik : buta warna, hemofilia, diabetes, thalassemia
e. Pekerjaan : asbestosis, bysinosis.
f. Nutrisi : gizi kurang menyebabkan TBC, obesitas, diabetes
g. Status kekebalan : kekebalan terhadap penyakit virus yang tahan lama dan seumur hidup.
h. Adat istiadat : kebiasaan makan ikan mentah menyebabkan cacing hati.
i. Gaya hidup : merokok, minum alkohol
j. Psikis : stress menyebabkan hypertensi, ulkus peptikum, insomnia.
F. Masalah-masalah Kesehatan Lingkungan di Indonesia
1. Air Bersih
Air
bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang
kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah
dimasak. Air minum adalah air yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum.
Syarat-syarat Kualitas Air Bersih diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Syarat Fisik : Tidak berbau, tidak berasa, dan tidak berwarna
b. Syarat Kimia : Kadar Besi : maksimum yang diperbolehkan 0,3 mg/l, Kesadahan (maks 500 mg/l)
c. Syarat Mikrobiologis : Koliform tinja/total koliform (maks 0 per 100 ml air)
2. Pembuangan Kotoran/Tinja
Metode pembuangan tinja yang baik yaitu dengan jamban dengan syarat sebagai berikut :
a. Tanah permukaan tidak boleh terjadi kontaminasi
b. Tidak boleh terjadi kontaminasi pada air tanah yang mungkin memasuki mata air atau sumur
c. Tidak boleh terkontaminasi air permukaan
d. Tinja tidak boleh terjangkau oleh lalat dan hewan lain
e. Tidak boleh terjadi penanganan tinja segar ; atau, bila memang benar-benar diperlukan, harus dibatasi seminimal mungkin.
f. Jamban harus babas dari bau atau kondisi yang tidak sedap dipandang.
g. Metode pembuatan dan pengoperasian harus sederhana dan tidak mahal.
3. Kesehatan Pemukiman
Secara umum rumah dapat dikatakan sehat apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Memenuhi kebutuhan fisiologis, yaitu : pencahayaan, penghawaan dan ruang gerak yang cukup, terhindar dari kebisingan yang mengganggu.
b. Memenuhi kebutuhan psikologis, yaitu : privacy yang cukup, komunikasi yang sehat antar anggota keluarga dan penghuni rumah
c. Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit
antarpenghuni rumah dengan penyediaan air bersih, pengelolaan tinja dan
limbah rumah tangga, bebas vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian
yang tidak berlebihan, cukup sinar matahari pagi, terlindungnya makanan
dan minuman dari pencemaran, disamping pencahayaan dan penghawaan yang
cukup.
d. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan
baik yang timbul karena keadaan luar maupun dalam rumah antara lain
persyaratan garis sempadan jalan, konstruksi yang tidak mudah roboh,
tidak mudah terbakar, dan tidak cenderung membuat penghuninya jatuh
tergelincir.
4. Pembuangan Sampah
Teknik pengelolaan sampah yang baik harus memperhatikan faktor-faktor/unsur :
a. Penimbulan
sampah. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi sampah adalah jumlah
penduduk dan kepadatanya, tingkat aktivitas, pola kehidupan/tk sosial
ekonomi, letak geografis, iklim, musim, dan kemajuan teknologi.
b. Penyimpanan sampah.
c. Pengumpulan, pengolahan dan pemanfaatan kembali.
d. Pengangkutan
e. Pembuangan
Dengan
mengetahui unsur-unsur pengelolaan sampah, kita dapat mengetahui
hubungan dan urgensinya masing-masing unsur tersebut agar kita dapat
memecahkan masalah-masalah ini secara efisien.
5. Serangga dan Binatang Pengganggu
Serangga sebagai reservoir (habitat dan suvival) bibit
penyakit yang kemudian disebut sebagai vektor misalnya : pinjal tikus
untuk penyakit pes/sampar, Nyamuk Anopheles sp untuk penyakit Malaria,
Nyamuk Aedes sp untuk Demam Berdarah Dengue (DBD), Nyamuk Culex sp untuk
Penyakit Kaki Gajah/Filariasis. Penanggulangan/pencegahan dari penyakit
tersebut diantaranya dengan merancang rumah/tempat pengelolaan makanan
dengan rat proff (rapat tikus), Kelambu yang dicelupkan dengan
pestisida untuk mencegah gigitan Nyamuk Anopheles sp, Gerakan 3 M
(menguras mengubur dan menutup) tempat penampungan air untuk mencegah
penyakit DBD, Penggunaan kasa pada lubang angin di rumah atau dengan
pestisida untuk mencegah penyakit kaki gajah dan usaha-usaha sanitasi.
Binatang
pengganggu yang dapat menularkan penyakit misalnya anjing dapat
menularkan penyakit rabies/anjing gila. Kecoa dan lalat dapat menjadi
perantara perpindahan bibit penyakit ke makanan sehingga menimbulakan
diare. Tikus dapat menyebabkan Leptospirosis dari kencing yang
dikeluarkannya yang telah terinfeksi bakteri penyebab.
6. Makanan dan Minuman
Sasaran
higene sanitasi makanan dan minuman adalah restoran, rumah makan, jasa
boga dan makanan jajanan (diolah oleh pengrajin makanan di tempat
penjualan dan atau disajikan sebagai makanan siap santap untuk dijual
bagi umum selain yang disajikan jasa boga, rumah makan/restoran, dan
hotel).
Persyaratan hygiene sanitasi makanan dan minuman tempat pengelolaan makanan meliputi :
a. Persyaratan lokasi dan bangunan;
b. Persyaratan fasilitas sanitasi;
c. Persyaratan dapur, ruang makan dan gudang makanan;
d. Persyaratan bahan makanan dan makanan jadi;
e. Persyaratan pengolahan makanan;
f. Persyaratan penyimpanan bahan makanan dan makanan jadi;
g. Persyaratan peralatan yang digunakan.
7. Pencemaran Lingkungan
Pencemaran
lingkungan diantaranya pencemaran air, pencemaran tanah, pencemaran
udara. Pencemaran udara dapat dibagi lagi menjadi indoor air pollution
dan out door air pollution. Indoor air pollution merupakan problem
perumahan/pemukiman serta gedung umum, bis kereta api, dll. Masalah ini
lebih berpotensi menjadi masalah kesehatan yang sesungguhnya, mengingat
manusia cenderung berada di dalam ruangan ketimbang berada di jalanan. Diduga akibat pembakaran kayu bakar, bahan bakar rumah tangga lainnya
merupakan salah satu faktor resiko timbulnya infeksi saluran pernafasan
bagi anak balita. Mengenai masalah out door pollution atau pencemaran
udara di luar rumah, berbagai analisis data menunjukkan bahwa ada
kecenderungan peningkatan. Beberapa penelitian menunjukkan adanya
perbedaan resiko dampak pencemaran pada beberapa kelompok resiko tinggi
penduduk kota dibanding pedesaan. Besar resiko relatif tersebut adalah
12,5 kali lebih besar. Keadaan ini, bagi jenis pencemar yang akumulatif,
tentu akan lebih buruk di masa mendatang. Pembakaran hutan untuk dibuat
lahan pertanian atau sekedar diambil kayunya ternyata membawa dampak
serius, misalnya infeksi saluran pernafasan akut, iritasi pada mata,
terganggunya jadual penerbangan, terganggunya ekologi hutan.
G. Penyebab masalah kesehatan lingkungan di Indonesia
1. Pertambahan dan kepadatan penduduk.
2. Keanekaragaman sosial budaya dan adat istiadat dari sebagian besar penduduk.
3. Belum memadainya pelaksanaan fungsi manajemen.
H. Hubungan dan pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan masyarakat di perkotaan dan pemukiman
Contoh hubungan dan pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan masyarakat di perkotaan dan pemukiman diantaranya sebagai berikut :
1. Urbanisasi
>>>kepadatan kota >>> keterbatasan lahan
>>>daerah slum/kumuh>>>sanitasi kesehatan lingkungan
buruk
2. Kegiatan
di kota (industrialisasi) >>> menghasilkan limbah cair
>>>dibuang tanpa pengolahan (ke sungai) >>>sungai
dimanfaatkan untuk mandi, cuci, kakus>>>penyakit menular.
3. Kegiatan
di kota (lalu lintas alat transportasi)>>>emisi gas buang
(asap) >>>mencemari udara kota>>>udara tidak layak
dihirup>>>penyakit ISPA.
I. Healthy City (Kabupaten/kota sehat)
Dalam
tatanan desentralisasi/otonomi daerah di bidang kesehatan, pencapaian
Visi Indonesia Sehat 2010 ditentukan oleh pencapaian Visi Pembangunan
Kesehatan setiap provinsi (yaitu Provinsi sehat). Khusus
untuk Kabupaten/Kota, penetapan indikator hendaknya mengacu kepada
indikator yang tercantum dalam Standard Pelayanan Minimal (SPM) Bidang
Kesehatan. SPM ini dimasukkan sebagai bagian dari Indikator Kabupaten/Kota Sehat.
Kemudian ditambah ha-hal spesifik yang hanya dijumpai/dilaksanakan di
Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Misalnya Kota/Kabupaten yang area
pertaniannya luas dicantumkan indikator pemakaian pestisida.
Di dalam SPM Kab/kota di Propinsi Jawa Tengah (Keputusan Gubernur Jawa Tengah ) pada point (huruf) “U” tentang Penyuluhan Perilaku Sehat disebutkan terdapat item Rumah Tangga Sehat (item 1),
dimana disebutkan bahwa Rumah Tangga sehat adalah Proporsi Rumah Tangga
yang memenuhi minimal 11 (sebelas) dari 16 indikator Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat (PHBS) tatanan Rumah Tangga. Lima diantara 16 indikator
merupakan Perilaku yang berhubungan dengan Kesehatan Lingkungan, yaitu :
1. Menggunakan Air Bersih untuk kebutuhan sehari-hari
2. Menggunakan jamban yang memenuhi syarat kesehatan
3. Membuang sampah pada tempat yang disediakan
4. Membuang air limbah pada saluran yang memenuhi syarat
5. Mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air besar.
Terdapat juga Penilaian Rumah Sehat (rumah secara fisik : pencahayaan, kelembaban, ventilasi, dll)
Selain Rumah Tangga sehat terdapat pula point “R” yakni Pelayanan Kesehatan Lingkungan dimana item pertama (Institusi yang dibina)
meliputi RS, Puskesmas, Sekolah, Instalasi Pengolahan Air Minum,
Perkantoran, Industri Rumah Tangga dan Industri Kecil serta tempat
penampungan pengungsi. Institusi yang dibina tersebut adalah unit kerja
yang dalam memberikan pelayanan/jasa potensial menimbulkan resiko/dampak
kesehatan.
Secara garis besar dapat diterangkan dengan diagram berikut :
Indonesia Sehat 2010
Indikator Indonesia Sehat (Kep. MenKes No 1202/MENKES/SK/VIII/2003)
Standard Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kab/Kota (KepMen 1457/Menkes/SK/X/2003)
Standard Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Kab/Kota di Provinsi Jawa Tengah (Kep.Gub. Jateng No 71 tahun 2004) Point “U” dan “R” yaitu :
Institusi yang dibina
Rumah Tangga Sehat
Rumah Sehat
Kumpulan Rumah Sehat, Rumah Tangga Sehat dan Institusi-institusi yang dibina akan mewujudkan Kabupaten/Kota sehat (Healthy City)
Kepustakaan :
Achmadi, Umar Fahmi, 1991. Transformasi Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan Kerja di Indonesia, Jakarta : UI Press.
Azwar, 1983. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Mutiara. Jakarta
Depkes RI, 1982. Sistem Kesehatan Nasional. Depkes RI.Jakarta
Ehler, Victor M. 1965., Municifal and Rural Sanitation. Mc. Graw Hill, Publishing Company Ltd, New Delhi.
Harsanto, et al.2002. Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat. Jakarta : Depkes RI.
Keputusan Gubernur Jawa Tengah No 71 tahun 2004 tentang Standard Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Kab/Kota di Provinsi Jawa Tengah
Keputusan Menteri Kesehatan No 1202/MENKES/SK/VIII/2003 tentang Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Penetapan Indikator Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat
Keputusan Menteri Kesehatan No 1457/Menkes/SK/X/2003 Standard Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kab/Kota
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1098/MENKES/SK/VII/2003 tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Rumah Makan dan Restoran
Leavel and Clark. 1965. Preventive Medicine for the Doctor in His Community, 3th Edition, McGraw-Hill Inc, New York.
Notoatmodjo, Soekidjo.2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat ; Prinsip-prinsip Dasar. Jakarta : Rineka Cipta.
Peraturan Menteri Kesehatan No 416 tahun 1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air
Purdom, 1980. Environmental Health.second edition. Academic Press.
Soeparman dan Suparmin. 2001.Pembuangan Tinja dan Limbah Cair : Suatu Pengantar. Jakarta : EGC.
Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
Wagner & Lanoix,1958. Excreta Disposal for Rural Areas and Small Comunities, World Health Organization. Geneva.
Soal Latihan :
1. Sebutkan pengertian kesehatan lingkungan menurut sintesa dari Azrul Azwar, Slamet Riyadi, WHO dan Sumengen !
2. Sebutkan ruang lingkup kesehatan lingkungan menurut Pasal 22 ayat (3) UU No 23 tahun 1992 !
3. Jelasakan konsep hubungan interaksi antara tiga komponen yang berperan dalam menimbulkan penyakit model ecology (Jhon Gordon)
4. Sebutkan karakteristik host, agent dan environmental dan beri contoh masing-masing 2 (diua) buah !
5. Sebutkan masalah-masalah kesehatan lingkungan di Indonesia dan apa penyebabnya ?
6. Jelaskan
dengan contoh (2 saja), hubungan dan pengaruh kondisi lingkungan
terhadap kesehatan masyarakat di perkotaan dan pemukiman !
7. Jelaskan dengan diagram, kaitan antara Indonesia sehat 2010, kesehatan lingkungan dan Healty city !
-oOo-
Advokasi Pencemaran Udara
diakses tanggal 12 Nopember 2007
Secara umum, terdapat 2 sumber pencemaran udara, yaitu pencemaran akibat sumber alamiah (natural sources), seperti letusan gunung berapi, dan yang berasal dari kegiatan manusia (anthropogenic sources),
seperti yang berasal dari transportasi, emisi pabrik, dan lain-lain. Di
dunia, dikenal 6 jenis zat pencemar udara utama yang berasal dari
kegiatan manusia (anthropogenic sources), yaitu Karbon monoksida
(CO), oksida sulfur (SOx), oksida nitrogen (NOx), partikulat,
hidrokarbon (HC), dan oksida fotokimia, termask ozon.
Di
Indonesia, kurang lebih 70% pencemaran udara disebabkan oleh emisi
kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor mengeluarkan zat-zat berbahaya
yang dapat menimbulkan dampak negatif, baik terhadap kesehatan manusia
maupun terhadap lingkungan, seperti timbal/timah hitam (Pb), suspended particulate matter (SPM),
oksida nitrogen (NOx), hidrokarbon (HC), karbon monoksida (CO), dan
oksida fotokimia (Ox). Kendaraan bermotor menyumbang hampir 100% timbal,
13-44% suspended particulate matter (SPM), 71-89% hidrokarbon, 34-73%
NOx, dan hampir seluruh karbon monoksida (CO) ke udara Jakarta. Sumber
utama debu berasal dari pembakaran sampah rumah tangga, di mana mencakup
41% dari sumber debu di Jakarta. Sektor industri merupakan sumber utama
dari sulfur dioksida. Di tempat-tempat padat di Jakarta konsentrasi
timbal bisa 100 kali dari ambang batas.
Sementara
itu, laju pertambahan kendaraan bermotor di Jakarta mencapai 15% per
tahun sehingga pada tahun 2005 diperkirakan jumlah kendaraan bermotor di
Jakarta mencapai 2,8 juta kendaraan. Seiring dengan laju pertambahan
kendaraan bermotor, maka konsumsi bahan bakar juga akan mengalami
peningkatan dan berujung pada bertambahnya jumlah pencemar yang
dilepaskan ke udara.
Tahun
1999, konsumsi premium untuk transportasi mencapai 11.515.401 kilo
liter [Statistik Perminyakan Indonesia, Laporan Tahunan 1999 Direktorat
Jenderal Minyak dan Gas Bumi]. Dalam setiap liter premium yang
diproduksi, terkandung timbal (Pb) sebesar 0,45 gram sehingga jumlah Pb
yang terlepas ke udara total sebesar 5.181,930 ton. Dengan pertumbuhan
penjualan mobil dan sepeda motor sebesar 300% dan 50% diperkirakan tahun
2001 polusi akibat timbal (Pb) meningkat.
Menurut penelitian Jakarta Urban Development Project,
konsentrasi timbal di Jakarta akan mencapai 1,7-3,5 mikrogram/meter
kubik (ìg/m3) pada tahun 2000. Menurut Bapedalda Bandung, konsentrasi
hidrokarbon mencapai 4,57 ppm (baku mutu PP 41/1999: 0,24 ppm), NOx
mencapai 0,076 ppm (baku mutu: 0,05 ppm), dan debu mencapai 172 mg/m3
(baku mutu: 150 mg/m3).
Dampak Pencemaran Udara
Berdasarkan
studi Bank Dunia tahun 1994, pencemaran udara merupakan pembunuh kedua
bagi anak balita di Jakarta, 14% bagi seluruh kematian balita seluruh
Indonesia dan 6% bagi seluruh angka kematian penduduk Indonesia. Jakarta
sendiri adalah kota dengan kualitas terburuk ketiga di dunia.
Dampak
terhadap kesehatan yang disebabkan oleh pencemaran udara akan
terakumulasi dari hari ke hari. Pemaparan dalam jangka waktu lama akan
berakibat pada berbagai gangguan kesehatan, seperti bronchitis,
emphysema, dan kanker paru-paru. Dampak kesehatan yang diakibatkan oleh
pencemaran udara berbeda-beda antarindividu. Populasi yang paling rentan
adalah kelompok individu berusia lanjut dan balita. Menurut penelitian
di Amerika Serikat, kelompok balita mempunyai kerentanan enam kali lebih
besar dibandingkan orang dewasa. Kelompok balita lebih rentan karena
mereka lebih aktif dan dengan demikian menghirup udara lebih banyak,
sehingga mereka lebih banyak menghirup zat-zat pencemar.
Dampak
dari timbal sendiri sangat mengerikan bagi manusia, utamanya bagi
anak-anak. Di antaranya adalah mempengaruhi fungsi kognitif, kemampuan
belajar, memendekkan tinggi badan, penurunan fungsi pendengaran,
mempengaruhi perilaku dan intelejensia, merusak fungsi organ tubuh,
seperti ginjal, sistem syaraf, dan reproduksi, meningkatkan tekanan
darah dan mempengaruhi perkembangan otak. Dapat pula menimbulkan anemia
dan bagi wanita hamil yang terpajan timbal akan mengenai anak yang
disusuinya dan terakumulasi dalam ASI. Diperkirakan nilai sosial setiap
tahun yang harus ditanggung akibat pencemaran timbal ini sebesar 106
juta Dollar USA atau sekitar 850 miliar rupiah.
Apa yang Harus Dilakukan?
Penanggulangan
pencemaran udara tidak dapat dilakukan tanpa menanggulangi penyebabnya.
Mempertimbangan sektor transportasi sebagai kontributor utama
pencemaran udara, maka sektor ini harus mendapat perhatian utama.
- WALHI menyerukan kepada pemerintah untuk memperbaiki sistem transportasi yang ada saat ini, dengan sistem transportasi yang lebih ramah lingkungan dan terjangkau oleh publik. Prioritas utama harus diberikan pada sistem transportasi massal dan tidak berbasis kendaraan pribadi.
- WALHI juga menyerukan kepada pemerintah untuk segera memenuhi komitmennya untuk memberlakukan pemakaian bensin tanpa timbal.
- Di sektor industri, penegakan hukum harus dilaksanakan bagi industri pencemar.
-oOo-
Metromini Penyebab Pencemaran Udara Terbesar Di JakartaSelasa, 18 Januari 2005 | 07:16 WIB
http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2005/01/18/brk,20050118-10,id.html
TEMPO Interaktif, Jakarta: Tingginya tingkat pencemaran udara di Jakarta tidak lain disebabkan oleh meningkatnya jumlah angkutan umum yang menggunakan bahan bakar solar.
"60 persen pencemaran udara di Jakarta disebabkan karena benda yang bergerak atau transportasi umum, terutama karena mereka memakai bahan bakar solar, " kata Senior Program Officer Clean Air Project (Swisscontact), Paul Butar-Butar saat pertemuan dengan Komisi D DPRD DKI di ruang rapat komisi D, Jakarta, Senin (17/1).
Paul menyatakan, 94 persen penyakit pernafasan yang diderita oleh masyarakat Jakarta disebabkan oleh pencemaran udara luar ruang. Seperti yang disebabkan oleh asap dari angkutan umum, misalnya metromini yang menggunakan bahan bakar solar.
Sedangkan 30 persen penyakit pernafasan, disebabkan oleh pencemaran dalam ruang seperti adanya asap rokok di ruang yang menggunakan AC.
Paul menilai, uji emisi yang telah diluncurkan sejak 2002, yang telah dirintis oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta bekerjasama dengan berbagai LSM tidak menghasilkan dampak yang signifikan. Karena masih banyaknya kendaraan yang menggunakan bahan bakar solar dan tidak layak jalan.
"Dari hasil survei karbonmonoksida (CO2), 50 persen kendaraan yang ada itu tidak lolos uji emisi. Kadar CO2 mereka berada di atas ambang batas (500), " jelas Paul.
Mengingat kondisi udara Jakarta yang semakin mengkhawatirkan, Paul berharap agar pemerintah segera menetapkan kebijakan khusus yang mengatur hal tersebut, khususnya sanksi yang tegas dan lebih berat.
Denda maksimal Rp 5 juta dan hukuman pidana kurungan paling lama 6 bulan dinilai terlalu ringan bagi pelanggar pencemaran udara.
Seharusnya, kata Paul, dasar acuan penetapan sanksi berdasar pada UU No. 32 tahun 2004 yang menetapkan denda sebanyak-banyaknya Rp 50 juta.
Anggota komisi D dari Fraksi Partai Demokrat, Denny Taloga sependapat dengan Paul. Menurut Denny, pemerintah saat ini harus bisa melakukan tindakan yang tegas terhadap pada pelanggar pencemaran udara. "Denda itu terlalu kecil, seharusnya Rp 50 juta bukan Rp 5 juta," kata Denny.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Fauzy Bowo, dalam rapat paripurna DPRD, menyatakan setuju besaran denda yang disampaikan oleh beberapa fraksi beberapa waktu lalu. Yaitu dengan mengacu pada UU No. 32 tahun 2004 yang menetapkan denda sebanyak-banyaknya Rp 50 juta dan pidana kurungan paling lama 6 bulan.
Untuk mengurangi pencemaran udara yang diakibatkan oleh angkutan umum, pihaknya juga kan menggalang aksi pemasyarakatan pemakaian Bahan Bakar Gas (BBG).
"Sebagai langkah awal, pemasyarakatan BBG ini akan diberlakukan pada berbagai kendaraan dinas operasional instansi pemerintah maupun BUMD, " kata Fauzy. suryani ika sari
Sampah Swakelola Sha-Link WALHI Yogyakarta
http://www.walhi.or.id/kampanye/cemar/sampah/060120_smphswkl_/ tanggal 12 Nopember 2007
Pertumbuhan penduduk diakui atau tidak, telah menimbulkan akibat bertambahnya pola konsumsi masyarakat yang akhirnya menyebabkan bertambahnya volume sampah. Bertambahnya volume bukan hanya pada jumlah, tetapi juga pada jenis sampah yang semakin beragam. Kondisi ini diperparah dengan pola hidup masyarakat yang instan dan paradigma masyarakat yang masih menganggap sampah sebagai sesuatu yang harus dibuang dan disingkirkan.Di sisi lain, pengelolaan sampah hanya dilakukan sebagai sesuatu yang bersifat rutin, yaitu hanya dengan cara memindahkan, membuang, dan memusnahkan sampah. Pada akhirnya, hal ini berdampak pada semakin langkanya tempat untuk membuang sampah dan produksi sampah yang semakin banyak mencapai ribuan m3/hari, menyebabkan merebaknya TPA/TPS ilegal di berbagai tempat baik lahan kosong maupun di sungai – sungai yang terdapat di wilayah DI Yogyakarta.
Di Kabupaten Bantul saja, terdapat paling tidak 12 TPA/TPS ilegal lahan kosong dan di sungai mencapai 7 TPA/TPS ilegal. Di Kabupaten Sleman, terdapat 10 TPA/TPS ilegal lahan kosong dan di sungai mencapai 21 TPA/TPS ilegal. Di Kota Yogyakarta sendiri, terdapat 24 TPS/TPA ilegal di sungai.
Ribuan m3/hari sampah yang ada tidak terangkut semuanya. Itu terlihat di Kota Yogyakarta dari 1.724 m3 sampah yang terangkut 1.321 m3/hari. Kabupaten Bantul dari 1.145 m3/hari sampah yang terangkut 178 m3/hari dan kabupaten Sleman dari 1.268 m3/hari sampah yang terangkut 285 m3/hari. Bisa dibayangkan, sampah yang tidak terangkut berada di sungai, lahan kosong, atau di rumah.
Bagaimana potret kehidupan masyarakat ke depan, jika persoalan ini tidak segera diselesaikan. Permasalahan sampah bukan hanya berdampak pada persoalan lingkungan, tetapi juga telah menimbulkan kerawanan sosial dan bencana kemanusiaan. Berbagai kasus, seperti di Bantargerbang, Bojong Gede, dan Leuwigajah, mengingatkan kita bahwa persoalan sampah bukan sesuatu yang bisa dianggap sepele.
Pendekatan persoalan sampah biasanya menggunakan paradigma end–pipe of solution (pendekatan ujung-pipa) sudah saatnya digeser ke pendekatan sumber. Dengan pendekatan sumber sampah ditangani dari sumber pembuangannya. Hal ini lebih efektif daripada pengolahan di TPA (tempat pembuangan akhir). Penerapan prinsip 4R: mengganti (“replace”), mengurangi (“reduce’), memakai kembali (“re-use”), mendaur ulang (“recycle”), merupakan paradigma yang terbukti mampu menangani permasalahan sampah secara mandiri.
Pengelolaaan sampah swakelola Sukunan, Banyuraden, Gamping, Kabupaten Sleman adalah salah satu contohnya. Penanganan sampah mulai dari sumbernya, yaitu dari rumah tangga, terbukti mampu mengelola potensi sampah yang selama ini luput dari perhatian masyarakat. Sampah organik yang selama ini dibuang karena bau dapat dimanfaatkan lagi menjadi kompos. Sedangkan sampah kertas, plastik, logam, dan kaca, mampu dimanfaatkan sebagai kerajinan seni atau dijual ke industri pengolahan selanjutnya.
Contoh lain adalah di Gondolayu Lor, Cokrodiningratan, Jetis, Kota Yogyakarta, tengah memproduksi secara massal alat pembuatan kompos. Mereka juga memilah sampah non organik, mulai plastik dan kertas yang masih mempunyai nilai ekonomis, dimanfaatkan dan dikelola, serta sampah non organik lainnya akan dibuang di tempat khusus. Terobosan masyarakat ini, merupakan sesuatu yang perlu kita dorong dan kembang-tularkan ke tempat-tempat yang lain.
Kegiatan simulasi pengolahan sampah swakelola dan pembuatan bakteri yang dilaksanakan pada tanggal 14 Januari 2006 ini, merupakan upaya untuk mengatasi permasalahan di atas, dan juga menindaklanjuti hasil kunjungan Sahabat Lingkungan bersama Sheep dan Yasanti, yang merupakan anggota WALHI Yogyakarta, beserta masyarakat dampingannya ke Sukunan pada tanggal 21 Desember 2005.
Kegiatan ini juga melibatkan anggota WALHI Yogyakarta yang lain, yaitu Mitra Tani (sebagai narasumber) dan kegiatan ini dilaksanakan di Gubuk Rembug Lingkungan yang merupakan Crisis Center WALHI Yogyakarta, dimana salah satu fungsinya adalah sebagai pusat pelatihan pendidikan lingkungan. Kegiatan ini merupakan upaya menciptakan budaya baru dalam masyarakat, mulai dari pemilahan, pengolahan, dan pemanfaatan sampah menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomi, sehingga permasalahan sampah, baik dari segi lingkungan maupun sosial, bisa berkurang, bahkan dapat teratasi.
1001 Permasalahan Sanitasi
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/032007/08/cakrawala/lainnya05.htm diakses 8 Maret 2007
Berbicara
sanitasi, berarti kita lebih jauh membicarakan kesehatan lingkungan.
Saat ini, banyak sekali permasalahan lingkungan yang harus dihadapi dan
sangat mengganggu terhadap tercapainya kesehatan lingkungan. Ironisnya,
hanya Rp 200,00/orang/tahun yang disediakan pemerintah dalam 30 tahun
terakhir untuk mengatasi masalah ini, padahal kebutuhan ideal per orang
setiap tahunnya adalah Rp 47.000,00.
Sungguh
satu nilai yang jauh berbeda, padahal kesehatan lingkungan bisa
berakibat positif terhadap kondisi elemen-elemen hayati dan non hayati
dalam ekosistem itu sendiri. Bila lingkungan tidak sehat maka sakitlah
elemennya, tapi sebaliknya jika lingkungan sehat maka sehat pulalah
ekosistem tersebut. Perilaku kurang baik dari manusia, telah
mengakibatkan perubahan ekosistem dan timbulnya sejumlah permasalahan
sanitasi.
Pertama, kebocoran septic tank.
Saat ini sekitar 70 persen air tanah di daerah perkotaan sudah tercemar
berat bakteri tinja, padahal separuh penduduk perkotaan masih
menggunakan air tanah. Banyak hal yang mengakibatkan kebocoran atau
bahkan rembesan limbah septic tank, padatnya perumahan bisa mempercepat terjadinya kondisi ini, seperti dimuat Pikiran Rakyat (Senin, 19/2), 2007 merupakan tahun emas industri perumahan. Satu kondisi yang perlu diantisipasi dampaknya sejak dini.
Bappenas menyatakan, saat ini standar nasional tentang konstruksi septic tank
sudah ada, tetapi dalam implementasinya kurang ditunjang oleh
aturan-aturan lainnya, seperti belum adanya aturan yang membatasi jumlah septic tank
per satuan luas kawasan. Demikian pula dengan aturan yang mewajibkan
penyedotan tinja secara rutin dan pihak yang merasa berkepentingan
memeriksa isi septic tank, belum ada. Selain itu, masih ada anggapan dari masyarakat bahwa bagus dan tidaknya septic tank hanya dirasakan oleh pemiliknya saja.
Kedua,
MCK yang tidak berfungsi secara optimal baik karena usang, salah
konstruksi, tidak terawat, tidak ada air, maupun masyarakat yang belum
siap menerima keberadaannya sesuai fungsinya. Ketiga, saluran air yang
tersumbat. Seharusnya fungsi saluran tersebut adalah mengalirkan air
hujan, tetapi dalam pelaksanaannya dipakai menampung air kakus dan
sampah sehingga jadi sarang penyakit. Keempat, melakukan aktivitas
harian di sungai yang tercemar terjadi akibat terbatasnya akses
masyarakat terhadap sarana MCK dan air bersih.
Kelima,
pembuatan jamban yang asal-asalan, 35 persen jamban di kawasan
perkotaan tidak ada air, tidak ada atap atau tidak tersambung ke septic tank. Keenam,
influein industri di kawasan pemukiman sebagian besar dialirkan ke
sungai tanpa proses pengelolaan terlebih dahulu. Ketujuh, buang air
besar sembarangan. Lebih dari 12 persen penduduk perkotaan Indonesia
sama sekali tidak memiliki akses ke sarana jamban (Susenas 2004).
Artinya, belasan juta penduduk perkotaan Indonesia masih membuang tinja
langsung di kebun, selokan, ataupun sungai. Kedelapan, pembuangan liar
lumpur tinja. Pada kenyataannya, saat ini banyak truk tinja membuang
langsung muatannya ke sungai, alasannya tidak ada IPLT, IPLT tidak
berfungsi atau petugasnya malas.
Pembangunan masyarakat kota
Membaiknya
sanitasi suatu kota, berarti juga mengurangi penyakit-penyakit akibat
buruknya sanitasi di masyarakat yang disebabkan oleh bakteri patogen,
jamur, maupun cacing parasit. Meluasnya penyakit seperti flu burung juga
disebabkan oleh buruknya sanitasi. Padahal jelas, hasil riset Bappenas
menyatakan, sanitasi yang baik mampu mengurangi biaya kesehatan 6 - 19
persen, bahkan mengurangi biaya pengobatan sekitar 2 - 5 persen.
Contoh
konkret bisa kita lihat di Bandung dan Jakarta, dua kota besar yang ada
di Indonesia sekaligus ibu kota provinsi dan negara. ”Jakarta
kebanjiran....” itulah sepenggal syair yang pernah dinyanyikan oleh
Benyamin S. (alm) semasa hidupnya. Setidaknya syair tersebut menunjukkan
betapa banjir senantiasa menjadi kejadian tahunan di ibu kota. Tahun
2007, sedikitnya 70 persen wilayah Jakarta terendam banjir sebagai
akibat kesalahan dalam rencana tata ruang dan wilayah (RTRW). Kerugian
yang dialami akibat bencana ini mencapai Rp 8 triliun dan berdampak luas
pada perekonomian bangsa.
Kasus
banjir ini sudah menyita banyak waktu dan perhatian masyarakat, siapa
yang pantas disalahkan atau bahkan apa yang salah dalam hal ini? Satu
pertanyaan yang harus dicari jawabannya karena dari hasil penelitian
menyatakan bahwa sanitasi yang baik ternyata meningkatkan waktu
produktif masyarakat sekitar 34-79 persen. Tentunya tanpa harus mengurus
lumpur banjir yang mampir ke rumah mereka.
Kejadian
serupa pernah mampir di Kota Bandung tahun 2006 lalu. Longsornya Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah, sempat membuat pusing tujuh keliling
pemerintah Kota Bandung. TPA itu pun ditutup. Akibatnya, pengangkutan
sampah masyarakat oleh petugas dari PD Kebersihan terhenti, sampah
berserakan, lalat beterbangan menebar penyakit, bau tak sedap tercium
setiap kali melewati daerah timbunan sampah. Banyak yang mengeluh karena
sakit diare atau pernapasan, bahkan para pejalan kaki, pengguna
kendaraan banyak yang mengeluh karena baunya, konsumen-konsumen di
pasar-pasar tradisional pun merasa tidak nyaman saat berbelanja. Kembali
pemerintah dan masyarakat Bandung harus menanggung malu, karena
mendapat predikat “kota terkotor”. Para pejabat negara turun tangan,
mulai dari gubernur hingga Menteri Lingkungan Hidup.
Kota
Bandung kembali harus merogoh kocek lebih dalam lagi untuk mengatasi
masalah ini. Tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan, belum lagi
pencemaran air akibat lindi sampah yang tidak tertangani. Data Bappenas
menyebutkan, akibat buruknya sanitasi mengakibatkan 70 persen air tanah
tercemar dan 75 persen air sungai tercemar. Padahal, 50 persen penduduk perkotaan saat ini masih menggunakan air tanah untuk kehidupan sehari-hari.
Wajar
kalau kemudian Ir. Ratna Hidayat, seorang peneliti lingkungan
pengairan, menyatakan bahwa kondisi air Citarum sangat kritis dengan
kandungan bakteri E.coli-nya mencapai 50.000/100 ml, sehingga perlu proses yang agak panjang dalam memanfaatkannya (Pikiran Rakyat, 4/12/2006). Biaya
produksi PDAM meningkat sekitar 25 persen dari rata-rata tarif air
nasional. Bahkan, ekspor hasil perikanan Indonesia pun pernah ditolak
karena diindikasikan tercemar salmonella.
Bangsa
yang maju bisa terlihat dari kemampuan SDM-nya dalam menata lingkungan
atau tempat tinggalnya. Kanada dan Brasil, dua negara yang mampu
membiayai operasional wilayahnya hanya dengan mengelola sampah dengan
baik. Tidak pelak lagi terjadi pertumbuhan ekonomi yang cukup baik,
karena minimnya biaya operasional dan meningkatnya pertumbuhan ekonomi
kota, pastinya investor pun akan datang dengan sendiriya dan tentunya
disambut dengan tangan-tangan handal dari SDM-SDM yang terlahir dari
bangsa yang berhasil menata lingkungannya dengan baik.***
Dine Andriani S.Pt.
Koordinator Kelompok Kerja Komunikasi Air (K3A).
Koordinator Kelompok Kerja Komunikasi Air (K3A).
Tanggal
|
:
|
20 Februari 2007 12:08 WIB
|
Judul
|
:
|
Seminal Nasional Peningkatan Kualitas Lingkungan Perumahan Dan Permukiman Di Indonesia
|
Sumber
|
:
|
Sesmen
|
http://www.kemenpera.go.id/detail_warta.asp?id=34 tanggal 12 nopember 2007
Pada
tanggal 15 Februari 2007 diadakan Seminal Nasional Peningkatan Kualitas
Lingkungan Perumahan Dan Permukiman Di Indonesia. Bertempat di Aula
Barat Institut Teknologi Bandung, dimana perkotaan dengan kompleksitas
permasalahan yang ada di tambah laju urbanisasi yang mencapai 4,4% per
tahun membuat kebutuhan perumahan di perkotaan semakin meningkat,
sementara itu ketersediaan lahan menjadi semakin langka. Kelangkaan ini
menyebabkan semakin mahalnya harga lahan di pusat kota, sehingga
mendorong masyarakat berpeng-hasilan menengah-bawah tinggal di kawasan
pinggiran kota yang jauh dari tempat kerja. Kondisi ini menyebabkan
meningkatkan biaya transportasi, waktu tempuh, dan pada akhirnya akan
menurunkan mobilitas dan produktivitas masyarakat. Sedangkan sebagian
masyarakat tinggal di kawasan yang tidak jauh dari pusat aktivitas
ekononomi, sehingga menyebabkan ketidak-teraturan tata ruang kota dan
dapat menumbuhkan kawasan kumuh baru.Kecenderungan Global menuju Abad Perkotaan dimana petumbuhan penduduk lebih cepat bila dibandingkan dengan pertambahan penduduk di perdesaan (urbanisasi). Bila dihubungkan dengan fenomena tersebut membawa kondisi kemasyarakatan di kawasan perkotaan menjadi lebih kompleks berikut permasalahan yang timbul. Hal ini banyak disebabkan oleh tingkat persaingan untuk mencari penghidupan di perkotaan semakin ketat seiring dengan bertambhanya jumlah penduduk. Dampak lingkungan hunian yang lazim adalah bertambahnya jumlah masyarakat kawasan permukiman yang tidak layak huni, kurang sarana – prasarana, dan tidak teratur (kumuh). Lokasi permukiman tersebut cenderung berada pada kawasan yang tidak diperentukan sebagai kawasan hunian seperti pinggir kali, pinggir rel kreta api, dan areal tidak resmi lainnya. Akibatnya berbagai dampak lingkungan lanjutan seperti banjir, penyakit menular dan keamanan lingkungan menambah tugas rumah bagi pemerintah kota dan pusat.